NORMA PENGKOMBINASIAN DAN
PENYELEKSIAN HADIS
Oleh: MA. Zuhurul Fuqohak
A. Pendahuluan
Secara pasti dan terbukti,
keberadaan beberapa teks tidaklah ada yang kontradiksi. Seandainya ada asumsi
perselisihan itu, maka sudah menjadi kewajiban dan tugas bagi intelektual
muslim untuk menyelesaikannya. Bukan hal yang mustahil terjadi, jika
pertentangan itu hanyalah hal yang bersifat lahiriah saja. Sehingga ada peluang
dan celah bagi kita untuk menyingkap rahasia di antara beberapa tekstual nas
agama itu.
Upaya dan usaha itu
dilaksanakan jika eksistensi nas itu dapat dipertanggungjawabkan. Artinya, nas
yang ada itu benar-benar wujud baik dengan jalur kemutawatiran informasi
agama yang diterima atau dari riwayat yang sahih. Dengan demikian dapat
dipertimbangkan sekilas pertentangan di antara beberapa riwayat itu. Berbeda
halnya dengan teks yang tidak dapat terbukti salah satunya.
Nas agama yang berupa hadis
Nabi saw itu dipalsukan (maudhu’) atau lemah untuk dibuat pegangan (dho’if),
maka nas itu tidak dapat dipertimbangkan sama sekali baik dari dalam (intern)
yang meliputi penafsiran dan pengarahan teks lebih sesuai dengan teks lainnya
ataupun dari luar (eksternal) yang bermakna penguatan teks itu untuk
dibuat hujjah dan dalil agama.
Ada beberapa problematika dan
permasalahan yang dihadapkan kepada beberapa nas yang kelihatan lahirnya
bertolak belakang. Misalnya, bagaimana memahami hakikat dua nas yang
benar-benar berselisih untuk kemudian ditabrakkan? Haruskah semua nas yang
kelihatan kontradiksi disebut dengan muta’aridh (bertentangan) dan
dimasukkan pada kategori nas yang harus diluruskan? Atau bagaimanakah cara kita
mengupayai dan menangani beberapa permasalahan yang dihadapi dalam kombinasi
dan komparasi beberapa teks agama itu? Apa hakikat kombinasi teks dan
norma-normanya serta pengunggulan perumusannya? Berikut akan pemakalah ungkap
secara lengkap dan detil dalam pembahasan ini.
B. Pembahasan
Permasalahan yang pemakalah
ketengahkan dalam sub pembahasan berikut meliputi; ketentuan hadis yang
dianggap bertentangan dan membutuhkan dua metode jam’u dan tarjih,
hakikat al-jam’u wat tarjih (pengombinasian dan pengunggulan nas),
contoh-contohnya, kaidah dan normanya, serta pendapat pemakalah dalam menyikapi
problematika teori tersebut.
1. Ketentuan Nas Yang
Bertentangan
Nas yang
dianggap berselisih lahirnya tidak semuanya akan terbukti ta’arudh (bertolak
belakang) yang selanjutnya akan dipecahkan dengan tiga metode utama yaitu; al-jam’u,
at-tarjeh, dan an-naskhu. Namun, nas akan diperiksa untuk
menentukannya jika sudah memenuhi enam syarat utama, yaitu: [1]
a. Sama dalam derajat
dan pangkatnya. Misalnya; sama-sama berupa nas kitab Quran, atau sejenis nas
hadis yang ahad (bukan kelas mutawatir).
b. Sederajat dalam
kekuatannya. Maka tidak ada pertentangan antara dalil yang bersifat dzohir yang
cenderung dzonniyyuddilalah dengan dalil yang berkarakter nas yang
berstatus qoth’iyyuddilalah.
c. Sama waktu dalam
pelaksanaannya. Jika ada yang dahulu dan terakhir, maka yang terakhir itulah
yang digunakan.
d. Sama dalam posisi dan
kondisi. Apabila berbeda kondisi, maka tidak ada pertentangan. Namun semua
dalil bisa diaplikasikan sesuai dengan kondisi tersebut.
e. Sama dalam aspek dan
sisi pandangnya. Seandainya kedua dalil itu berbeda aspeknya, misalnya antara
larangan jual beli waktu adzan jum’ah dengan pemborehannya di waktu lainnya,
maka tidak ada pertentangan.
f. Perselisihan hukum
antara kedua nas tersebut. Apabila dalil itu sama hukumnya, maka tidak bisa
disebut pertentangan dalil.
Ada hal
lain jika kita terlalu tegas dan disiplin dengan keenam syarat di atas, yaitu
hal negatif, artinya tidak akan pernah ditemukan adanya nas yang dianggap ikhtilaf
(berseberangan), sebab secara faktanya, kegiatan atau upaya jam’u
dan tarjih serta nasakh adalah pengungkapan teks secara lebih
cermat. Oleh sebab itu, dalam pembahasan berikut hanya meneliti beberapa nas
yang dianggap lahirnya itu bertentangan kemudian diselesaikan dengan
menggunakan metode-metode jam’u, tarjih, dan nasakh-mansukh.
2. Substansi Al-Jam’u
wa at-Tarjih
Secara
etimologi al-jam’u berarti mengumpulkan. Secara istilah,
sebagaimana yang dituturkan oleh Dr. Iyyadh bin Nami As-Salmy, jam’u berarti
menjelaskan ketidak adanya pertentangan di antara dua dalil secara lahirnya
dengan menakwilkan salah satu nas atau kedua nas itu secara bersamaan.[2]
Maksud dari
takwil tersebut adalah mengarahkan nas itu pada suatu posisi dan kondisi
tertentu yang tidak tercakup oleh nas yang lain. Atau jika ada nas yang umum
maka diarahkan pada nas yang khusus, dan jika ada nas yang mutlak maka akan
diarahkan pada nas yang dibatasi (muqoyyad).[3]
Sedangkan tarjih
secara etimologi berarti pengunggulan, condongnya salah satu piringan timbangan
yang menunjukkan beratnya.[4]
Adapun secara terminologi ada beberapa pendapat. Al-Jurjani mendefinisikan tarjih
adalah menetapkan derajat pada salah satu dua dalil dan mengalahkan dalil
yang lain.[5]
Dr. Iyyadh menegaskan bahwa tarjih berarti menguatkan salah satu
pertanda (dalil) dan mengalahkan yang lain, atau menerangkan keistimewaan dalil
dengan tambahnya kekuatan mengungguli dalil nas pembandingnya.[6]
Ada
beberapa syarat dan kriteria dalil yang digolongkan dalam tarjih ini.
Pertama, pertentangan itu terjadi di antara dalil, bukan tuduhan (dakwa)
dan saksi (bayyinat). Kedua, nas itu secara lahirnya bertentangan, dan
yang ketiga sudah tidak mungkin untuk diupayai dengan metode jam’u. Maka
posisi metode tarjih ini menurut mayoritas ulama adalah berada di posisi
terakhir. Artinya, teori ini tidak boleh dioperasikan selama metode lain sudah
bisa menyelesaikannya.[7]
3. Norma Penanganan
Beserta Contoh
Yang
pemakalah maksudkan di sini adalah peraturan-peraturan dalam menangani
pertentangan dalil-dalil itu dengan mengedepankan teori atau metode yang
sesuai.
a. Peraturan Umum
Penanganan Nas Yang Ta’arudh
Nas yang
bertentangan lahirnya, ada perbedaan cara penanganannya. Ada cara menurut mutakallimin,
yang memasukkan Syafi’iyyah, Malikiyyah, dan Hanbaliyyah yang
selanjutnya mereka dikategorikan dengan nama jumhur. Ada pula dengan
cara Hanafiyyah. Menurut jumhur, peraturan pertama dalam
penanganannya adalah dengan jalan jam’u (pengombinasian tekstual hadis),
kemudian an-naskhu (penyalinan dan perubahan tekstual), lalu at-tarjih
(penguatan salah satu teks).[8]
Kalangan Hanafiyyah
menjelaskan bahwa peraturan pertama yang dilaksanakan adalah an-naskhu, kemudian
al-jam’u, baru setelahnya adalah at-tarjih. Argumentasi yang
mereka sampaikan adalah bahwa penelitian tekstual yang sudah benar-benar
dinasakh ini menunjukkan kalau nas itu tidak bisa dipakai dan tidak layak untuk
dipertentangkan. Sedangkan jumhur berpegang pada kaidah umu (al-i’mal
aula minal ihmal, upaya mengamalkan teks lebih baik ketimbang
menganggurkannya).[9]
Metode jam’u
bisa digambarkan pada tiga poin utama. Pertama, dengan mengarahkan salah
satu tekstual hadis pada posisi atau aspek yang tidak termuat oleh nas lain.
Misalnya, hadis yang menjelaskan eksistensi sikap saksi berikut;
“Belumkah aku
mengabari kalian tentang saksi terbaik?
Seseorang yang
mendatangkan persaksian sebelum dimintai”. (HR. Muslim)[10]
Hadis ini seakan bertentangan
dengan riwayat lain dalam sahih Bukhari Muslim berikut;
“Sesungguhnya
generasi setelah kalian adalah kaum yang berkhianat dan tidak bisa dipercaya,
mereka bersaksi dan tidak dimintai persaksian”. (HR. Bukhori Muslim)[11]
Kedua hadis
itu sekilas bertentangan, karena hadis awal memuji orang yang bersaksi sebelum
diminta, sedang hadis yang kedua mencelanya. Maka kedua hadis ini
dikombinasikan dengan mengarahkan hadis awal pada posisi seorang saksi yang
mana terdakwa tidak mengetahuinya, sehingga dia tidak memintanya. Adapun hadis
kedua berindikasi bahwa saksi itu sudah diketahui terdakwa, namun dia tidak
memintanya.[12]
Ada juga,
cara jam’u itu dengan mengkhususkan hadis yang umum, misalnya;
“Di dalam
(tanaman) yang disiram oleh air (hujan), zakat sepersepuluh”
(HR. Bukhory)[13]
Hadis di atas umum yang
mencakup semua bilangan dan takaran, dengan hadis berikut;
“Tidak ada
kewajiban sedekah (zakat) dalam (tanaman) yang (berupa kurma atau sejenisnya
dan) kurang lima wasaq” (HR.
Bukhory)[14]
Hadis
tersebut khusus pada tanaman yang kurang lima wasaq (kira-kira delapan
kuintal beras), maka cara pengombinasiannya adalah dengan mengkhususkan hadis
awal pada hukum hadis kedua. Implikasinya berarti kewajiban berzakat
sepersepuluh dari tanaman yang disirami air hujan adalah ketika mencapai satu nishab
yaitu lima wasaq itu.[15]
Ketiga
adalah dengan mengarahkan nas yang mutlak pada nas yang muqoyyad (dibatasi).
Misalnya adalah hadis tentang isbalul izar (menurunkan dan membiarkan
terurai pada ujung pakaian bawah) yang dibatasi dengan ketentuan jika tidak
diniati kesombongan itu diperbolehkan, atau hadis tentang mencela alat
persawahan yang diarahkan jika menimbulkan kerusakan seperti prajurit perang
atau digunakan pada sesuatu yang tidak diridhoi-Nya. Dan ini telah kita
bicarakan kemarin.[16]
b. Kaidah Al-Jam’u
Lebih Didahulukan Dari At-Tarjih
Kaidah ini
telah disepakati antara Mutakallimin dan Hanafiyyah. Yang perlu
dicatat, kaidah ini berlaku jika kedua hadis itu sama-sama sahihnya. Jika ada
yang lemah, maka harus ditinggalkan kecuali sekedar tanazul wat-tabarru’ (turun
melihat ke bawah dan bederma dengan menganggap kesahihannya).[17]
Misalnya hadis;
“Ummu Salamah berkata, aku duduk bersama Hafsoh di samping Nabi saw,
kemudian Ibnu Ummi Maktum (buta) datang, lalu Nabi bersabda, “Berhijablah
kalian berdua darinya”, kami bertanya, “Bukankah dia buta Nabi?”, Nabi
menjawab, “Apakah kalian buta?”.
Kualitas
Hadis; At-Tirmidzi
mengatakan ini hadis hasan sahih. Namun ada perawi yang majhul (tidak
diketahui) bernama Nabhan, dan perawi ini hanya dianggap kuat oleh Ibnu Hibban
saja, sedang Adz-Dzahabi menghitungnya pada dhu’afa’ (perawi yang
lemah). Maka hadis ini lemah kategori Mubham. Ada riwayat lain yang
senada namun disandarkan pada Wahb bin Hafs, dan dia dikatakan dusta
oleh Abu ‘Arubah. Bahkan Ad-Daruquthni mengatakan, “Dia pemalsu hadis”.[18]
Hadis ini
juga bertentangan dengan hadis sahih yang senada berikut;
“Aku melihat
Nabi saw menutupiku dengan selendangnya, dan aku melihat orang Habsyi bermain
di masjid” (HR. Bukhori
Muslim)[19]
Seandainya hal
itu sahih, Imam Qurthubi mengarahkan bahwa hadis awal itu hanya sebatas syariat
berat untuk keluarga Nabi saw, seperti masalah hijab. Adapun umat secara
umum tidak. Hal ini sesuai dengan riwayat berikut;
“Nabi
besabda pada Fatimah binti Qois yang sedang beridah, “Iddahlah di sisi Abdullah
bin Ummi Maktum, karena dia itu buta, kamu bisa melepaskan pakaian dan dia
tidak melihat. Adapun Ummu Syuraik, dia wanita yang banyak dikepung lelaki
lain”. (HR. Muslim).[20]
Nas yang
menjadi obyek pembahasan itu jika tidak mungkin untuk dikombinasikan, maka akan
menggunakan teori ta’arudh.
Misalnya
hadis tentang hukum ‘azl (menghentikan datangnya air mani di rahim
wanita). Berikut teksnya:
“Ketika
kami dalam peperangan Bani Mustholiq, kami mendapatkan tawanan perang (budak
wanita), lalu kami tertarik pada mereka, dan kami ingin ‘azl, kemudian kami
bertanya kepada Nabi saw, beliau bersabda, “Kenapa kalian tidak melakukannya?
Sesungguhnya Allah telah menetapkan apa yang Dia ciptakan” (HR. Bukhori).[21]
Riwayat
dari Abu Sa’id, “Orang Yahudi mengatakan bahwa ‘azl adalah al-maudu’ah
as-Sughro (pembunuhan kecil), Nabi saw bersabda, “Yahudi berdusta, jika Allah
menghendaki untuk menciptakan sesuatu, maka tidak ada sesuatu yang dapat
menghalanginya”. (HR. Ahmad)[22]
Riwayat
Judamah, “Nabi ditanya tentang ‘azl, beliau bersabda, “itu adalah pembunuhan
samar (al-wad’u al-khhofyy), sebagaimana firmannya (ketika anak kecil yang
dibunuh ditanya)”. (HR. Muslim).[23]
“Nabi melarang,
jika wanita merdeka di ‘azl kecuali bila dia rela”. (HR. Ahmad)[24]
Kualitas
Hadis: lemah, sebab ada
perawi yang bernama Luhai’ah. Ada pendukung lain yang disandarkan pada
Ibnu Umar, namun pendukung itu mauquf. Dan di dalamnya ada perawi yang
bernama ‘Atiyyah al-Aufi dan dia lemah.[25]
Hadis yang
pertama, jelas-jelas mengindikasikan pembolehan ‘azl. Yang kedua tidak mengategorikan
‘azl pada pembunuhan ringan. Dan hadis ketiga mengategorikan ‘azl pada
al-wad’ah al-Khofi. Sedang hadis keempat melarang jika perempuan merdeka
tidak mengizini. Dalam hal ini, mayoritas ulama berpendapat penguatan salah
satu dalil. Sebab riwayat Judamah itu dianggap menyelisihi riwayat kebanyakan
perawi. Dan tambahan klasifikasi wad’ah khofi itu hanya dia yang
meriwayatkan. Maka yang diutamakan adalah riwayat yang membolehkan ‘azl secara
mutlak.
Ada juga
ulama yang berpendapat metode pengombinasian, yaitu dengan mengarahkan satu
teks yang melarang itu pada sikap dan tujuan menghindari hamil.[26]
4. Opini Pemakalah
Pemakalah
lebih cenderung setuju dengan pendapat jumhur yang mendahulukan jam’u
ketimbang nasakh. Sebab beberapa hal yang perlu dipertimbangkan berikut;
a. Pengoperasian nas,
karena dengan kita menggunakan dalil itu dengan cara pengombinasian, maka hal
itu sama dengan kita memperkecil kesempatan hilangnya nas itu sendiri.
Seandainya kita terlalu cepat memutuskan ketidakbisanya nas untuk dijadikan
hujjah dengan alasan nasakh atau argumentasi tarjih, maka nas-nas
itu akan hilang satu persatu, dan pada akhirnya kita akan terpaksa menggunakan
akal demi mengalahkan nas yang masih disangsikan eksistensinya.
b. Kesulitan keputusan
pemakaian salah satu teks atau kategori nasakhnya. Sebab, belum tentu hadis itu
dengan mudah dikategorikan nasakh seperti Quran, karena sifat Quran adalah
universal, sedang hadis lebih ke lokal, kultural, dan temporal. Maka ada
kemungkinan timbulnya itu dilandasi posisi dan kondisi tertentu yang bisa
diselesaikan dengan cara jam’u. Begitu juga dengan tarjih, harus
membutuhkan dalil penguat lain yang benar-benar seimbang kesahihannya atau kuat
periwayatan dan maknanya. Agar bisa terhindar dari penghukuman suatu hadis
tanpa sandaran yang valid.[27]
C. Simpulan
Berdasarkan
pembahasan tersebut, dapat pemakalah rumuskan bahwa metode pengombinasian dan
pengunggulan teks itu dilakukan jika benar-benar di antara teks itu tidak dapat
dipahami sejalan secara lahirnya. Dan metode kombinasi ini sangat bermanfaat
serta bijaksana ketimbang teori pengunggulan atau metode nasakh-mansukh.
Sebab, dengan metode ini akan terwujud kaidah umum bahwa i’malul kalam aula
min ihmalihi (upaya menggunakan ucapan dan teks agama itu lebih baik
ketimbang melalaikan dan meninggalkannya).[28]
Dengan
pengungkapan hadis dan problematikanya seperti itu, dapat pemakalah rumuskan
bahwa keharusan mengetahui cara dan metode pengompromian beberapa hadis adalah
hal yang perlu ditegaskan agar para cendekiawan muslim tidak mudah mengklaim
adanya nas yang bertentangan selanjutnya akan ditinggalkan salah satunya atau
memasukkan dalam kategori nasakh-mansukh (penyalinan hukum dalam
tekstual hadis). Sebab, dengan begitu tidak akan ada kesan menganggurnya teks
yang dibiarkan tidak terpakai dalam agama ini. Padahal Allah swt sudah
menegaskan bahwa Dia tidak menciptakan sesuatu di bumi ini melainkan pasti ada
manfaat dan hikmah tersendiri.[29]
Daftar Pustaka
Abu Ya’la, Imam Haromain. t.t. Al-Waroqot. Al-Haromain: Surabaya.
Ahmad. t.t. Musnad Ahmad. t.tp.: t.pn. Maktabah: Syamilah versi
3,5.
Al-Albany, Muhamad bin Nashiruddin. 1985. Irwa’ al-Gholil. Al-Maktab
al-Islami: Baerut. Maktabah: Syamilah versi 3,5.
Al-Jurjani. Ali bin Muhamad. t.t. At-Ta’rifat.Al-Haromain: Surabaya.
Al-Qordhowi, Yusuf. 2002. Kaifa Nata’amalu ma’a as-Sunnah
an-Nabawiyyah.Dar Syuruq: Mesir.
An-Naisabury, Muslim bin Hajjaj. Sahih Muslim. t.tp,: t.pn.
Maktabah: Syamilah versi 3,5.
Al-Bukhory, Muhamad bin Isma’il. t.t. Al-Jami’ as-Sahih. Al-Haromain:
Surabaya.
As-Salmy, Iyyadh
bin Nami. t.t. Usul Fikih al-Ladzi La Yasa’u lil Fakihi Jahluhu. Riyadh: t.pn. Maktabah:
Syamilah. Versi 3,5.
Jalaluddin as-Suyuthi. t.t. Asybah wa an-Nadzoir. Al: Haromain: Surabaya.
Muhamad bin Khotib. t.t. An-Nafahat Syarhu al-Waroqot. Al-Haromain:
Surabaya.
Muhamad Ibnu Mandzur. t.t. Lisan al-Arab. Dar Shodir: Baerut.
Maktabah: Syamilah versi 3,5.
[1]As-Salmy, Iyyadh bin Nami. t.t. Usul
Fikih al-Ladzi La Yasa’u lil Fakihi Jahluhu. Riyadh: t.pn. Maktabah: Syamilah. Versi 3,5.
juz. 01. h. 283.
[2]As-Salmy, Iyyadh bin Nami. Loc.
Cit. juz. 01. hlm. 286.
[4]Muhamad
Ibnu Mandzur. t.t. Lisan al-Arab. Dar Shodir: Baerut. Maktabah: Syamilah
versi 3,5. Juz. 02. hlm. 445.
[5]Al-Jurjani.
Ali bin Muhamad. t.t. At-Ta’rifat.Al-Haromain: Surabaya. juz. 01. h. 78.
[6]As-Salmy. Loc. Cit. hlm. 291.
[7]Muhamad bin Khotib. t.t. An-Nafahat
Syarhu al-Waroqot. Al-Haromain: Surabaya.
bab ta’arudh.
[8] As-Salmy. Loc. Cit. 285.
[9] As-Salmy. hlm. 285.
[10]An-Naisabury, Muslim bin Hajjaj. Sahih
Muslim. t.tp,: t.pn. Maktabah: Syamilah. Juz. 09. hlm. 121.
[11]Al-Bukhory, Muhamad bin Isma’il.
t.t. Al-Jami’ as-Sahih. Al-Haromain: Surabaya. hadis ke-2457.
[12]Abu Ya’la, Imam Haromain. t.t. Al-Waroqot.
Al-Haromain: Surabaya.
bab ta’arudh.
[13] Al-Bukhory. Loc. Cit. hadis
ke-1388. Juz. 05. hlm. 335.
[14] Al-Bukhory. Ibid. hadis
ke-i36. Muslim. Loc. Cit. hadis ke-1625.
[15] Imam Haromain. Ibid.
[16]Al-Qordhowi, Yusuf. 2002. Kaifa
Nata’amalu ma’a as-Sunnah an-Nabawiyyah.Dar Syuruq: Mesir. hlm.128.
[18] Al-Albany, Muhamad Nashiruddin.
1985. Irwa’ al-Gholil. Maktab Islami: Baerut. Maktabah: Syamilah. Juz.
06. hlm. 211.
[19] Al-Bukhory. Loc. Cit. hadis
ke-4835, Muslim. Loc. Cit. hadis ke-1480. Maktabah: Syamilah.
[20] Muslim. Loc. Cit. hadis
ke-2709.
[21]Al-Bukhori. Loc. Cit. Hadis
ke-2356.
[22]Ahmad. t.t. Musnad Ahmad. t.tp.:
t.pn. Maktabah: Syamilah. Hadis ke-10.858.
[23]Muslim. Loc. Cit. hadis
ke-2613.
[24]Ahmad. Loc. Cit. hadis
ke-207.
[25]Al-Albany, Muhamad bin Nashiruddin.
1985. Irwa’ al-Gholil. Al-Maktab al-Islami: Baerut. Hadis ke-207. juz.
07. hlm. 70.
[26]Al-Qordhowi. Loc. Cit. hlm.
140.
[27]Al-Qordhowi. Loc. Cit. hlm.
141.
[28]Jalaluddin as-Suyuthi. t.t. Asybah
wa an-Nadzoir. Al-Haromain: Surabaya.
[29] QS. Al-Imron:190-191.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar