Senin, Januari 09, 2012

TEORI JAM'U


NORMA PENGKOMBINASIAN DAN
PENYELEKSIAN HADIS
Oleh: MA. Zuhurul Fuqohak


A.    Pendahuluan
Secara pasti dan terbukti, keberadaan beberapa teks tidaklah ada yang kontradiksi. Seandainya ada asumsi perselisihan itu, maka sudah menjadi kewajiban dan tugas bagi intelektual muslim untuk menyelesaikannya. Bukan hal yang mustahil terjadi, jika pertentangan itu hanyalah hal yang bersifat lahiriah saja. Sehingga ada peluang dan celah bagi kita untuk menyingkap rahasia di antara beberapa tekstual nas agama itu.
Upaya dan usaha itu dilaksanakan jika eksistensi nas itu dapat dipertanggungjawabkan. Artinya, nas yang ada itu benar-benar wujud baik dengan jalur kemutawatiran informasi agama yang diterima atau dari riwayat yang sahih. Dengan demikian dapat dipertimbangkan sekilas pertentangan di antara beberapa riwayat itu. Berbeda halnya dengan teks yang tidak dapat terbukti salah satunya.
Nas agama yang berupa hadis Nabi saw itu dipalsukan (maudhu’) atau lemah untuk dibuat pegangan (dho’if), maka nas itu tidak dapat dipertimbangkan sama sekali baik dari dalam (intern) yang meliputi penafsiran dan pengarahan teks lebih sesuai dengan teks lainnya ataupun dari luar (eksternal) yang bermakna penguatan teks itu untuk dibuat hujjah dan dalil agama.
Ada beberapa problematika dan permasalahan yang dihadapkan kepada beberapa nas yang kelihatan lahirnya bertolak belakang. Misalnya, bagaimana memahami hakikat dua nas yang benar-benar berselisih untuk kemudian ditabrakkan? Haruskah semua nas yang kelihatan kontradiksi disebut dengan muta’aridh (bertentangan) dan dimasukkan pada kategori nas yang harus diluruskan? Atau bagaimanakah cara kita mengupayai dan menangani beberapa permasalahan yang dihadapi dalam kombinasi dan komparasi beberapa teks agama itu? Apa hakikat kombinasi teks dan norma-normanya serta pengunggulan perumusannya? Berikut akan pemakalah ungkap secara lengkap dan detil dalam pembahasan ini.
B.     Pembahasan
Permasalahan yang pemakalah ketengahkan dalam sub pembahasan berikut meliputi; ketentuan hadis yang dianggap bertentangan dan membutuhkan dua metode jam’u dan tarjih, hakikat al-jam’u wat tarjih (pengombinasian dan pengunggulan nas), contoh-contohnya, kaidah dan normanya, serta pendapat pemakalah dalam menyikapi problematika teori tersebut.
1.      Ketentuan Nas Yang Bertentangan
Nas yang dianggap berselisih lahirnya tidak semuanya akan terbukti ta’arudh (bertolak belakang) yang selanjutnya akan dipecahkan dengan tiga metode utama yaitu; al-jam’u, at-tarjeh, dan an-naskhu. Namun, nas akan diperiksa untuk menentukannya jika sudah memenuhi enam syarat utama, yaitu: [1]
a.       Sama dalam derajat dan pangkatnya. Misalnya; sama-sama berupa nas kitab Quran, atau sejenis nas hadis yang ahad (bukan kelas mutawatir).
b.      Sederajat dalam kekuatannya. Maka tidak ada pertentangan antara dalil yang bersifat dzohir yang cenderung dzonniyyuddilalah dengan dalil yang berkarakter nas yang berstatus qoth’iyyuddilalah.
c.       Sama waktu dalam pelaksanaannya. Jika ada yang dahulu dan terakhir, maka yang terakhir itulah yang digunakan.
d.      Sama dalam posisi dan kondisi. Apabila berbeda kondisi, maka tidak ada pertentangan. Namun semua dalil bisa diaplikasikan sesuai dengan kondisi tersebut.
e.       Sama dalam aspek dan sisi pandangnya. Seandainya kedua dalil itu berbeda aspeknya, misalnya antara larangan jual beli waktu adzan jum’ah dengan pemborehannya di waktu lainnya, maka tidak ada pertentangan.
f.       Perselisihan hukum antara kedua nas tersebut. Apabila dalil itu sama hukumnya, maka tidak bisa disebut pertentangan dalil.
Ada hal lain jika kita terlalu tegas dan disiplin dengan keenam syarat di atas, yaitu hal negatif, artinya tidak akan pernah ditemukan adanya nas yang dianggap ikhtilaf (berseberangan), sebab secara faktanya, kegiatan atau upaya jam’u dan tarjih serta nasakh adalah pengungkapan teks secara lebih cermat. Oleh sebab itu, dalam pembahasan berikut hanya meneliti beberapa nas yang dianggap lahirnya itu bertentangan kemudian diselesaikan dengan menggunakan metode-metode jam’u, tarjih, dan nasakh-mansukh.
2.      Substansi Al-Jam’u wa at-Tarjih
Secara etimologi al-jam’u berarti mengumpulkan. Secara istilah, sebagaimana yang dituturkan oleh Dr. Iyyadh bin Nami As-Salmy, jam’u berarti menjelaskan ketidak adanya pertentangan di antara dua dalil secara lahirnya dengan menakwilkan salah satu nas atau kedua nas itu secara bersamaan.[2]
Maksud dari takwil tersebut adalah mengarahkan nas itu pada suatu posisi dan kondisi tertentu yang tidak tercakup oleh nas yang lain. Atau jika ada nas yang umum maka diarahkan pada nas yang khusus, dan jika ada nas yang mutlak maka akan diarahkan pada nas yang dibatasi (muqoyyad).[3]
Sedangkan tarjih secara etimologi berarti pengunggulan, condongnya salah satu piringan timbangan yang menunjukkan beratnya.[4] Adapun secara terminologi ada beberapa pendapat. Al-Jurjani mendefinisikan tarjih adalah menetapkan derajat pada salah satu dua dalil dan mengalahkan dalil yang lain.[5] Dr. Iyyadh menegaskan bahwa tarjih berarti menguatkan salah satu pertanda (dalil) dan mengalahkan yang lain, atau menerangkan keistimewaan dalil dengan tambahnya kekuatan mengungguli dalil nas pembandingnya.[6]
Ada beberapa syarat dan kriteria dalil yang digolongkan dalam tarjih ini. Pertama, pertentangan itu terjadi di antara dalil, bukan tuduhan (dakwa) dan saksi (bayyinat). Kedua, nas itu secara lahirnya bertentangan, dan yang ketiga sudah tidak mungkin untuk diupayai dengan metode jam’u. Maka posisi metode tarjih ini menurut mayoritas ulama adalah berada di posisi terakhir. Artinya, teori ini tidak boleh dioperasikan selama metode lain sudah bisa menyelesaikannya.[7]
3.      Norma Penanganan Beserta Contoh
Yang pemakalah maksudkan di sini adalah peraturan-peraturan dalam menangani pertentangan dalil-dalil itu dengan mengedepankan teori atau metode yang sesuai.
a.      Peraturan Umum Penanganan Nas Yang Ta’arudh
Nas yang bertentangan lahirnya, ada perbedaan cara penanganannya. Ada cara menurut mutakallimin, yang memasukkan Syafi’iyyah, Malikiyyah, dan Hanbaliyyah yang selanjutnya mereka dikategorikan dengan nama jumhur. Ada pula dengan cara Hanafiyyah. Menurut jumhur, peraturan pertama dalam penanganannya adalah dengan jalan jam’u (pengombinasian tekstual hadis), kemudian an-naskhu (penyalinan dan perubahan tekstual), lalu at-tarjih (penguatan salah satu teks).[8]
Kalangan Hanafiyyah menjelaskan bahwa peraturan pertama yang dilaksanakan adalah an-naskhu, kemudian al-jam’u, baru setelahnya adalah at-tarjih. Argumentasi yang mereka sampaikan adalah bahwa penelitian tekstual yang sudah benar-benar dinasakh ini menunjukkan kalau nas itu tidak bisa dipakai dan tidak layak untuk dipertentangkan. Sedangkan jumhur berpegang pada kaidah umu (al-i’mal aula minal ihmal, upaya mengamalkan teks lebih baik ketimbang menganggurkannya).[9]
Metode jam’u bisa digambarkan pada tiga poin utama. Pertama, dengan mengarahkan salah satu tekstual hadis pada posisi atau aspek yang tidak termuat oleh nas lain. Misalnya, hadis yang menjelaskan eksistensi sikap saksi berikut;
“Belumkah aku mengabari kalian tentang saksi terbaik?
Seseorang yang mendatangkan persaksian sebelum dimintai”. (HR. Muslim)[10]
Hadis ini seakan bertentangan dengan riwayat lain dalam sahih Bukhari Muslim berikut;
“Sesungguhnya generasi setelah kalian adalah kaum yang berkhianat dan tidak bisa dipercaya, mereka bersaksi dan tidak dimintai persaksian”. (HR. Bukhori Muslim)[11]
Kedua hadis itu sekilas bertentangan, karena hadis awal memuji orang yang bersaksi sebelum diminta, sedang hadis yang kedua mencelanya. Maka kedua hadis ini dikombinasikan dengan mengarahkan hadis awal pada posisi seorang saksi yang mana terdakwa tidak mengetahuinya, sehingga dia tidak memintanya. Adapun hadis kedua berindikasi bahwa saksi itu sudah diketahui terdakwa, namun dia tidak memintanya.[12]
Ada juga, cara jam’u itu dengan mengkhususkan hadis yang umum, misalnya;
“Di dalam (tanaman) yang disiram oleh air (hujan), zakat sepersepuluh”
(HR. Bukhory)[13]
Hadis di atas umum yang mencakup semua bilangan dan takaran, dengan hadis berikut;
“Tidak ada kewajiban sedekah (zakat) dalam (tanaman) yang (berupa kurma atau sejenisnya dan) kurang lima wasaq” (HR. Bukhory)[14]
Hadis tersebut khusus pada tanaman yang kurang lima wasaq (kira-kira delapan kuintal beras), maka cara pengombinasiannya adalah dengan mengkhususkan hadis awal pada hukum hadis kedua. Implikasinya berarti kewajiban berzakat sepersepuluh dari tanaman yang disirami air hujan adalah ketika mencapai satu nishab yaitu lima wasaq itu.[15]
Ketiga adalah dengan mengarahkan nas yang mutlak pada nas yang muqoyyad (dibatasi). Misalnya adalah hadis tentang isbalul izar (menurunkan dan membiarkan terurai pada ujung pakaian bawah) yang dibatasi dengan ketentuan jika tidak diniati kesombongan itu diperbolehkan, atau hadis tentang mencela alat persawahan yang diarahkan jika menimbulkan kerusakan seperti prajurit perang atau digunakan pada sesuatu yang tidak diridhoi-Nya. Dan ini telah kita bicarakan kemarin.[16]
b.      Kaidah Al-Jam’u Lebih Didahulukan Dari At-Tarjih
Kaidah ini telah disepakati antara Mutakallimin dan Hanafiyyah. Yang perlu dicatat, kaidah ini berlaku jika kedua hadis itu sama-sama sahihnya. Jika ada yang lemah, maka harus ditinggalkan kecuali sekedar tanazul wat-tabarru’ (turun melihat ke bawah dan bederma dengan menganggap kesahihannya).[17] Misalnya hadis;
“Ummu Salamah berkata, aku duduk bersama Hafsoh di samping Nabi saw, kemudian Ibnu Ummi Maktum (buta) datang, lalu Nabi bersabda, “Berhijablah kalian berdua darinya”, kami bertanya, “Bukankah dia buta Nabi?”, Nabi menjawab, “Apakah kalian buta?”.
Kualitas Hadis; At-Tirmidzi mengatakan ini hadis hasan sahih. Namun ada perawi yang majhul (tidak diketahui) bernama Nabhan, dan perawi ini hanya dianggap kuat oleh Ibnu Hibban saja, sedang Adz-Dzahabi menghitungnya pada dhu’afa’ (perawi yang lemah). Maka hadis ini lemah kategori Mubham. Ada riwayat lain yang senada namun disandarkan pada Wahb bin Hafs, dan dia dikatakan dusta oleh Abu ‘Arubah. Bahkan Ad-Daruquthni mengatakan, “Dia pemalsu hadis”.[18]
Hadis ini juga bertentangan dengan hadis sahih yang senada berikut;
“Aku melihat Nabi saw menutupiku dengan selendangnya, dan aku melihat orang Habsyi bermain di masjid” (HR. Bukhori Muslim)[19]
Seandainya hal itu sahih, Imam Qurthubi mengarahkan bahwa hadis awal itu hanya sebatas syariat berat untuk keluarga Nabi saw, seperti masalah hijab. Adapun umat secara umum tidak. Hal ini sesuai dengan riwayat berikut;
“Nabi besabda pada Fatimah binti Qois yang sedang beridah, “Iddahlah di sisi Abdullah bin Ummi Maktum, karena dia itu buta, kamu bisa melepaskan pakaian dan dia tidak melihat. Adapun Ummu Syuraik, dia wanita yang banyak dikepung lelaki lain”. (HR. Muslim).[20]
Nas yang menjadi obyek pembahasan itu jika tidak mungkin untuk dikombinasikan, maka akan menggunakan teori ta’arudh.
Misalnya hadis tentang hukum ‘azl (menghentikan datangnya air mani di rahim wanita). Berikut teksnya:
“Ketika kami dalam peperangan Bani Mustholiq, kami mendapatkan tawanan perang (budak wanita), lalu kami tertarik pada mereka, dan kami ingin ‘azl, kemudian kami bertanya kepada Nabi saw, beliau bersabda, “Kenapa kalian tidak melakukannya? Sesungguhnya Allah telah menetapkan apa yang Dia ciptakan” (HR. Bukhori).[21]
Riwayat dari Abu Sa’id, “Orang Yahudi mengatakan bahwa ‘azl adalah al-maudu’ah as-Sughro (pembunuhan kecil), Nabi saw bersabda, “Yahudi berdusta, jika Allah menghendaki untuk menciptakan sesuatu, maka tidak ada sesuatu yang dapat menghalanginya”. (HR. Ahmad)[22]
Riwayat Judamah, “Nabi ditanya tentang ‘azl, beliau bersabda, “itu adalah pembunuhan samar (al-wad’u al-khhofyy), sebagaimana firmannya (ketika anak kecil yang dibunuh ditanya)”. (HR. Muslim).[23]
“Nabi melarang, jika wanita merdeka di ‘azl kecuali bila dia rela”. (HR. Ahmad)[24]
Kualitas Hadis: lemah, sebab ada perawi yang bernama Luhai’ah. Ada pendukung lain yang disandarkan pada Ibnu Umar, namun pendukung itu mauquf. Dan di dalamnya ada perawi yang bernama ‘Atiyyah al-Aufi dan dia lemah.[25]
Hadis yang pertama, jelas-jelas mengindikasikan pembolehan ‘azl. Yang kedua tidak mengategorikan ‘azl pada pembunuhan ringan. Dan hadis ketiga mengategorikan ‘azl pada al-wad’ah al-Khofi. Sedang hadis keempat melarang jika perempuan merdeka tidak mengizini. Dalam hal ini, mayoritas ulama berpendapat penguatan salah satu dalil. Sebab riwayat Judamah itu dianggap menyelisihi riwayat kebanyakan perawi. Dan tambahan klasifikasi wad’ah khofi itu hanya dia yang meriwayatkan. Maka yang diutamakan adalah riwayat yang membolehkan ‘azl secara mutlak.
Ada juga ulama yang berpendapat metode pengombinasian, yaitu dengan mengarahkan satu teks yang melarang itu pada sikap dan tujuan menghindari hamil.[26]
4.      Opini Pemakalah
Pemakalah lebih cenderung setuju dengan pendapat jumhur yang mendahulukan jam’u ketimbang nasakh. Sebab beberapa hal yang perlu dipertimbangkan berikut;
a.       Pengoperasian nas, karena dengan kita menggunakan dalil itu dengan cara pengombinasian, maka hal itu sama dengan kita memperkecil kesempatan hilangnya nas itu sendiri. Seandainya kita terlalu cepat memutuskan ketidakbisanya nas untuk dijadikan hujjah dengan alasan nasakh atau argumentasi tarjih, maka nas-nas itu akan hilang satu persatu, dan pada akhirnya kita akan terpaksa menggunakan akal demi mengalahkan nas yang masih disangsikan eksistensinya.
b.      Kesulitan keputusan pemakaian salah satu teks atau kategori nasakhnya. Sebab, belum tentu hadis itu dengan mudah dikategorikan nasakh seperti Quran, karena sifat Quran adalah universal, sedang hadis lebih ke lokal, kultural, dan temporal. Maka ada kemungkinan timbulnya itu dilandasi posisi dan kondisi tertentu yang bisa diselesaikan dengan cara jam’u. Begitu juga dengan tarjih, harus membutuhkan dalil penguat lain yang benar-benar seimbang kesahihannya atau kuat periwayatan dan maknanya. Agar bisa terhindar dari penghukuman suatu hadis tanpa sandaran yang valid.[27]
C.    Simpulan
Berdasarkan pembahasan tersebut, dapat pemakalah rumuskan bahwa metode pengombinasian dan pengunggulan teks itu dilakukan jika benar-benar di antara teks itu tidak dapat dipahami sejalan secara lahirnya. Dan metode kombinasi ini sangat bermanfaat serta bijaksana ketimbang teori pengunggulan atau metode nasakh-mansukh. Sebab, dengan metode ini akan terwujud kaidah umum bahwa i’malul kalam aula min ihmalihi (upaya menggunakan ucapan dan teks agama itu lebih baik ketimbang melalaikan dan meninggalkannya).[28]
Dengan pengungkapan hadis dan problematikanya seperti itu, dapat pemakalah rumuskan bahwa keharusan mengetahui cara dan metode pengompromian beberapa hadis adalah hal yang perlu ditegaskan agar para cendekiawan muslim tidak mudah mengklaim adanya nas yang bertentangan selanjutnya akan ditinggalkan salah satunya atau memasukkan dalam kategori nasakh-mansukh (penyalinan hukum dalam tekstual hadis). Sebab, dengan begitu tidak akan ada kesan menganggurnya teks yang dibiarkan tidak terpakai dalam agama ini. Padahal Allah swt sudah menegaskan bahwa Dia tidak menciptakan sesuatu di bumi ini melainkan pasti ada manfaat dan hikmah tersendiri.[29]

Daftar Pustaka
Abu Ya’la, Imam Haromain. t.t. Al-Waroqot. Al-Haromain: Surabaya.
Ahmad. t.t. Musnad Ahmad. t.tp.: t.pn. Maktabah: Syamilah versi 3,5.
Al-Albany, Muhamad bin Nashiruddin. 1985. Irwa’ al-Gholil. Al-Maktab al-Islami: Baerut. Maktabah: Syamilah versi 3,5.
Al-Jurjani. Ali bin Muhamad. t.t. At-Ta’rifat.Al-Haromain: Surabaya.
Al-Qordhowi, Yusuf. 2002. Kaifa Nata’amalu ma’a as-Sunnah an-Nabawiyyah.Dar Syuruq: Mesir.
An-Naisabury, Muslim bin Hajjaj. Sahih Muslim. t.tp,: t.pn. Maktabah: Syamilah versi 3,5.
Al-Bukhory, Muhamad bin Isma’il. t.t. Al-Jami’ as-Sahih. Al-Haromain: Surabaya.
As-Salmy, Iyyadh bin Nami. t.t. Usul Fikih al-Ladzi La Yasa’u lil Fakihi Jahluhu. Riyadh: t.pn. Maktabah: Syamilah. Versi 3,5.
Jalaluddin as-Suyuthi. t.t. Asybah wa an-Nadzoir. Al: Haromain: Surabaya.
Muhamad bin Khotib. t.t. An-Nafahat Syarhu al-Waroqot. Al-Haromain: Surabaya.
Muhamad Ibnu Mandzur. t.t. Lisan al-Arab. Dar Shodir: Baerut. Maktabah: Syamilah versi 3,5.



[1]As-Salmy, Iyyadh bin Nami. t.t. Usul Fikih al-Ladzi La Yasa’u lil Fakihi Jahluhu. Riyadh: t.pn. Maktabah: Syamilah. Versi 3,5. juz. 01. h. 283.
[2]As-Salmy, Iyyadh bin Nami. Loc. Cit. juz. 01. hlm. 286.
[3]Ibid. hlm. 284.
[4]Muhamad Ibnu Mandzur. t.t. Lisan al-Arab. Dar Shodir: Baerut. Maktabah: Syamilah versi 3,5. Juz. 02. hlm. 445.
[5]Al-Jurjani. Ali bin Muhamad. t.t. At-Ta’rifat.Al-Haromain: Surabaya. juz. 01. h. 78.
[6]As-Salmy. Loc. Cit. hlm. 291.
[7]Muhamad bin Khotib. t.t. An-Nafahat Syarhu al-Waroqot. Al-Haromain: Surabaya. bab ta’arudh.
[8] As-Salmy. Loc. Cit. 285.
[9] As-Salmy. hlm. 285.
[10]An-Naisabury, Muslim bin Hajjaj. Sahih Muslim. t.tp,: t.pn. Maktabah: Syamilah. Juz. 09. hlm. 121.
[11]Al-Bukhory, Muhamad bin Isma’il. t.t. Al-Jami’ as-Sahih. Al-Haromain: Surabaya. hadis ke-2457.
[12]Abu Ya’la, Imam Haromain. t.t. Al-Waroqot. Al-Haromain: Surabaya. bab ta’arudh.
[13] Al-Bukhory. Loc. Cit. hadis ke-1388. Juz. 05. hlm. 335.
[14] Al-Bukhory. Ibid. hadis ke-i36. Muslim. Loc. Cit. hadis ke-1625.
[15] Imam Haromain. Ibid.
[16]Al-Qordhowi, Yusuf. 2002. Kaifa Nata’amalu ma’a as-Sunnah an-Nabawiyyah.Dar Syuruq: Mesir. hlm.128.
[17] Ibid. hlm. 134.
[18] Al-Albany, Muhamad Nashiruddin. 1985. Irwa’ al-Gholil. Maktab Islami: Baerut. Maktabah: Syamilah. Juz. 06. hlm. 211.
[19] Al-Bukhory. Loc. Cit. hadis ke-4835, Muslim. Loc. Cit. hadis ke-1480. Maktabah: Syamilah.
[20] Muslim. Loc. Cit. hadis ke-2709.
[21]Al-Bukhori. Loc. Cit. Hadis ke-2356.
[22]Ahmad. t.t. Musnad Ahmad. t.tp.: t.pn. Maktabah: Syamilah. Hadis ke-10.858.
[23]Muslim. Loc. Cit. hadis ke-2613.
[24]Ahmad. Loc. Cit. hadis ke-207.
[25]Al-Albany, Muhamad bin Nashiruddin. 1985. Irwa’ al-Gholil. Al-Maktab al-Islami: Baerut. Hadis ke-207. juz. 07. hlm. 70.
[26]Al-Qordhowi. Loc. Cit. hlm. 140.
[27]Al-Qordhowi. Loc. Cit. hlm. 141.
[28]Jalaluddin as-Suyuthi. t.t. Asybah wa an-Nadzoir. Al-Haromain: Surabaya.
[29] QS. Al-Imron:190-191.

Tidak ada komentar:

SMS GRATIS