KAJIAN TAFSIR
(Dirosah Tafsirul Quran)
Ayat ini menjelaskan tentang tabiat orang Yahudi dan Nasrani yang berbeda,
Allah menjelaskan dalam QS. Al-Maidah: 82-86 berikut ini:
bismillahirrahmanirrahim,
لَتَجِدَنَّ
أَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَةً لِلَّذِينَ آَمَنُوا الْيَهُودَ وَالَّذِينَ
أَشْرَكُوا وَلَتَجِدَنَّ أَقْرَبَهُمْ مَوَدَّةً لِلَّذِينَ آَمَنُوا الَّذِينَ
قَالُوا إِنَّا نَصَارَى ذَلِكَ بِأَنَّ مِنْهُمْ قِسِّيسِينَ وَرُهْبَانًا
وَأَنَّهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ (82) وَإِذَا سَمِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَى
الرَّسُولِ تَرَى أَعْيُنَهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ مِمَّا عَرَفُوا مِنَ
الْحَقِّ يَقُولُونَ رَبَّنَا آَمَنَّا فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ (83)
وَمَا لَنَا لَا نُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَمَا جَاءَنَا مِنَ الْحَقِّ وَنَطْمَعُ أَنْ
يُدْخِلَنَا رَبُّنَا مَعَ الْقَوْمِ الصَّالِحِينَ (84) فَأَثَابَهُمُ اللَّهُ
بِمَا قَالُوا جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا
وَذَلِكَ جَزَاءُ الْمُحْسِنِينَ (85) وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا
بِآَيَاتِنَا أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ (86)
82. Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang
paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang
Yahudi dan orang-orang musyrik, dan Sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat
persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata:
"Sesungguhnya Kami ini orang Nasrani", yang demikian itu disebabkan
karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan
rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.
83. dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada
Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan
kebenaran (Al Quran) yang telah mereka ketahui (dari Kitab-Kitab mereka
sendiri); seraya berkata: "Ya Tuhan Kami, Kami telah beriman, maka
catatlah Kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Quran
dan kenabian Muhammad saw).
84. mengapa Kami tidak akan beriman kepada Allah dan kepada
kebenaran yang datang kepada Kami, padahal Kami sangat ingin agar Tuhan Kami
memasukkan Kami ke dalam golongan orang-orang yang saleh ?".
85. Maka Allah memberi mereka pahala terhadap perkataan yang mereka
ucapkan, (yaitu) surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedang mereka
kekal di dalamnya. dan itulah balasan (bagi) orang-orang yang berbuat kebaikan
(yang ikhlas keimanannya).
86. dan orang-orang kafir serta mendustakan ayat-ayat Kami, mereka
itulah penghuni neraka.
Munasabah:
Setelah
Allah menjelaskan perilaku Ahli kitab yang mendustakan Nabi dan ajarannya, ayat
ini menghibur Nabi dengan menceritakan perselisihan sifat Yahudi yang kasar
dengan sifat Nasrani yang lunak dan membeberkan semua tabiat dan perangai kaum
nasrani serta balasannya. Dan memungkasi dengan perbandingan balasan bagi
mereka yang kufur. (Ar-Razi)
Asbab
Nuzul:
1.
Ibnu
Abbas bercerita bahwa Nabi saw mengutus Ja’far bin Abi Thalib untuk hijrah ke
Habsyah dan menghadap Najasyi. Kemudian dia diperintahkan Najasyi untuk membaca
surat Maryam, lalu menangis semua pendeta di sekelilingnya. Dan turunlah ayat
ini. (Asbabun Nuzul dan Ibnu Abi Hatim)[1]
Namun riwayat ini perlu ditinjau ulang, sebab ayat ini Madaniyyah,
sementara kisahnya makkiyyah. (Ibnu Katsir)
2.
Said
bin Jubair mengisahkan bahwa Najasyi menyuruh 30 utusan menghadap Nabi saw, dan
beliau membaca surat Yasin sampai selesai. Kemudian menangis para utusan dan
berkata: Alangkah miripnya dengan apa yang diturunkan kepada Isa. Lalu turunlah
ayat ini. (Asbabun Nuzul) dan QS. Al-Qoshosh: 54. (Ad-Dur)
3.
Salman
bertutur: saat Nabi sampai Madinah, aku membuat makanan dan menghadiahkan pada
Nabi, kemudian aku bertanya: Nabi, bagaimana menurutmu orang-orang Nasrani?
Nabi menjawab: Orang yang tidak baik. Aku sedih. Lalu turun ayat ini. Dan aku
dipanggil Nabi diberitahuinya. (Ad-Durr)
Kosa
Kata:
1.
Al-Qissîsîn:
jamak masdar Qassa bermakna meneliti (ilmu, ulama). Ibnu
Atiyyah menyebutnya sebagai kata Ajam yang diarabkan. (Al-Bahru) adapun ar-Ruhbân
adalah jamak kata râhib. (Ibnu Atiyyah) Ar-Ruhbân: mungkin
plural kata rahib, atau mungkin juga bentuk tunggal. Pluralnya: Rahâbîn,
seperti kata rukbân. (At-Tabari)
2.
Tafîdhu
minad dam’i: terpenuhi dengan air mata. Majaz mursal ‘alaqoh sababiyyah.
(Zamakhsyari)
3.
Wamâ
lanâ lâ nu’minu: lâ nu’minu menjadi halnya
kata mâ, sedang wa nuth’imu menjadi halnya kata nu’minu.
(Zamakhsyari)
4.
Fa
atsâbahumullahu: Al-Hasan membaca Fa âtâhumullahu.
(Zamakhsyari)
Tafsir
Riwayah:
1.
Ibnu
Mardawih meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw bersabda: tidak
seorang pun yahudi bersepi dengan muslim melainkan ingin membunuhnya.[2]
(Ibnu Katsir)
2.
Salman
bercerita: Aku membaca di hadapan Nabi saw begini: dzâlika bi anna minhum
siddîqina wa ruhbâna. (Ibnu Katsir)
3.
Al-Hasan
menafsiri al-Qissîsîna: ulama, sedang Ibnu Zaid menafsiri: ahli ibadah.
(Ad-Du)
4.
Ibnu
Abbas menafsiri Asy-Syahidîn: Nabi dan ummatnya. Sedang Ibnu Zaid
menafsiri al-Qoum as-Salihîn: Nabi dan ummatnya. (Ad-Dur) namun juga
bisa dimaksudkan lebih umum, yaitu yang beriman kepada Allah dan nabi-nabiNya.
(Ar-Razi)
5.
Selain
kemungkinan asbabunnuzul di atas, mungkin juga ayat ini turun saat Nabi
menjelaskan sifat-sifat orang Nasrani yang sebelumnya patuh dengan Isa,
kemudian tunduk pada Nabi saw. (At-Tabari)
Tafsir
Dirayah:
1.
Ayat
ini menunjukkan bahwa dalam ajaran Yahudi mengharuskan mengecam pemeluk agama
lain, berbeda dengan ajaran Nasrani. Dan penyebabnya adalah ambisi duniawi
(sebagaimana QS. Al-Baqoroh: 96), sedangkan para pendeta tidak. Padahal
keburukan Nasrani lebih besar, sebab mereka menyerang akidah ketuhanan dan
kenabian, sedang Yahudi hanya menyerang akidah kenabian saja. (Ar-Razi)
2.
Ayat
ini menghibur Nabi saw dengan menjelaskan tabiat Ahli Kitab agar Nabi maklum.
(Ar-Razi)
3.
Mengapa
ruhban di sini mendapat pujian padahal Nabi tidak senang sifat itu
(beliau bersabda: tidak ada ruhbaniyah dalam Islam)?[3]
Jawab: pujian ini dibanding dengan perilaku dan tabiat orang Yahudi. Bukan
pujian secara mutlak. (Al-Khazin)
4.
Ayat
ini (85), menunjukkan bahwa orang mukmin yang fasik akan masuk surga, meskipun
setelah disiksa di neraka. Sebab balasan bimâ qôlû (ikrar dan makrifat
sebagaimana penjelasan ayat sebelumnya) adalah surga, sedang orang fasik masih
ikrar dan makrifat. Dan juga ayat setelahnya (86), menunjukkan hasr (batasan)
yang masuk neraka adalah orang kafir. (Ar-Razi)
5.
Ayat
ini menunjukkan bahwa tawadhu’, ilmu, dan tidak menuruti nafsu adalah
perbuatan mulia bagi siapapun. (Al-Alusi)
Tafsir
Isyarah:
1.
Al-Ladzîna
qôlu innâ nashârâ: isyarat bahwa sebenarnya yang
sejaman Nabi saw bukan nasrani yang sebenarnya, namun hanya pengakuan saja.
(Ibnu Atiyyah)
2.
Al-Yahûd:
disebabkan mereka terhijab dari tauhid dzat dan sifat, mereka hanya
tahu tauhid af’al saja. Adapun orang kafir terhijab semuanya. Sedangkan
orang nasrani terhijab dzat saja, sebab mereka menyadari bahwa semua sifat
milik Allah, oleh karena itu mereka tidak sombong. Dan orang muslim bertauhid
secara sempurna. (Al-Alusi)
3.
Waidzâ
sami’û: ini adalah tabiat mereka yang menerima kebenaran. Jika hatinya
terketuk ajakan kebaikan, maka jiwanya akan tersenyum tenang. (Al-Qusyairi)
Tafsir Kontemporer:
1.
Ayat
ini menunjukkan bahwa permusuhan orang Yahudi lebih dahsyat dibanding kaum
kafir paganisme. Sebab Yahudi tidak akan pernah berhenti menyerang dan membuat
siasat perang. Yang memprakarsai pembuatan hadis palsu, menjatuhkan sistem khilafah,
mempropaganda paham marxisme dan materialistis, semuanya dalangnya adalah
Yahudi. (Adz-Dzilal)
2.
Ayat
ini juga perlu dipahami dengan baik. Tidak semua orang Nasrani bersikap
demikian. Ini tertentu pada golongan yang jika mendengar Quran, akan menetes
air mata mereka karena iman. Oleh sebab itu, ayat ini dipungkasi dengan
orang-orang kafir yang artinya golongan nasrani yang tidak mempunyai sifat
demikian. Hal ini terbukti dalam perang Salib misalnya. (Adz-Dzilal). Hal ini
sebagaimana yang disinggung al-Alusi bahwa ada dua kemungkinan ayat ini, bisa
umum sampai kapanpun dan bisa khusus yang beriman saat Nabi saw masih hidup.
(Al-Alusi)
QS. Al-Maidah:
87-88:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا
تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ
لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ (87) وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا
طَيِّبًا وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ (88)
Munasabah:
Setelah Allah membahas rinci
perbincangan kaum Yahudi dan Nasrani, Allah kembali menjelaskan tentang hukum.
(Ar-Razi) Karena ayat lalu menjelaskan sikap Nasrani sebagai ruhbân (pendeta)
yang bahkan juga berlebihan dengan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah
yang kesannya Allah memuji-muji mereka, maka ayat ini melarang kaum mukmin
untuk melakukan seperti itu. (Al-Bahru)
Asbab Nuzul:
1.
Ibnu
Abbas meriwayatkan bahwa ada seseorang berkata pada Nabi saw: sesungguhnya jika
aku makan daging, akan tergerak syahwatku pada wanita. Maka aku haramkan makan
daging. Kemudian turunlah ayat ini. (Asbabun Nuzul)
2.
Ibnu
Abbas juga mengisahkan bahwa ada beberapa sahabat yang bersumpah: kami akan
memotong kelamin, meninggalkan dunia, dan mengembara sebagaimana ruhbân.
Kemudian sampai pada Nabi dan beliau bersabda: tapi aku puasa, tidur, dan
menikah. Barang siapa membenci sunnahku, bukan ummatku. (Ad-Dur)
3.
Abdullah
bin Rawahah bercerita saat istrinya tidak menyuguhi tamu lantaran menunggunya,
lalu dia berkata: celaka kamu, kenapa harus menungguku. Aku bersumpah, makanan
ini haram untukku. Istri dan tamu juga bersumpah sepertinya. Lalu dia mengajak
mereka makan. Kemudian paginya beliau bercerita pada Nabi dan beliau bersabda:
ahsanta: Kamu baik. (Ibnu Atiyyah)
4.
Anas
bercerita: beberapa sahabat datang ke rumah istri Nabi dan bertanya amal
beliau. Setelah mereka tahu, mereka berjanji tidak menikah, dan tidak tidur.
Saat Nabi tahu, beliau melarangnya. (Al-Bukhari, Ibnu Katsir)
Kosa Kata:
1.
La
tuharrimû: jangan menahan diri seperti barang haram, atau jangan berkata:
saya haramkan hal ini padaku.
(Zamakhsyari)
2.
Halâlan: menjadi hal kata razaqa. (Zamakhsyari)
3.
Ath-Thayyibât: makanan yang enak, terbukti disandarkan pada ahalla. (Ibnu
Atiyyah)
4.
Kulû: maksudnya konsumsilah, baik dengan memakan, minum, memakai,
mengendarai, dll. (Ibnu Atiyyah)
Tafsir Riwayah:
1.
Walâ
ta’tadû: As-Sudi menafsiri: jangan mencegah diri, jadi ini taukid ayat
sebelumnya. Al-Hasan menafsiri: jangan kelewat batas dengan menghalalkan yang
haram. Jadi, ini pelengkap, kalau sebelumnya jangan mengharamkan, maka ini
jangan menghalalkan. (Ibnu Atiyyah)
2.
Umar
ra bertanya pada seseorang: kamu beristri? Dia jawab: tidak. Kemudian Umar
berkata: mungkin kamu bodoh atau fasik. (Ad-Dur)
3.
Abdullah
bin al-Mubarak berkata: halal adalah mengambil sesuatu semestinya. Thayyib
adalah sesuatu yang bisa membuat gemuk dan bergizi. (Al-Khazin)
Tafsir Dirayah:
1.
Ayat
ini menunjukkan rizki adalah sesuatu yang bisa dikonsumsi (dimanfaatkan), tidak
harus dimiliki (berbeda dengan muktazilah). Dalilnya adalah QS. Saba’: 15.
Makanlah rizki dari Allah dan syukuri. Negeri yang makmur dan Tuhan Pengampun.
Ada ampunan berarti ada hal yang haram dikonsumsi. Dan itu disebut Allah
sebagai rizki. (Ibnu Atiyyah) Lagian jika rizki tidak mencakup harta haram,
maka tidak ada faidah menyebutkan kata halal di sini, kecuali sekedar penguat.
Dan itu khilafudz dzahir. (Al-Alusi)
2.
Halâlan
Thayyiban: jika dita’alluqkan dengan kata kulû, yang
takdirnya: dan makanlah harta halal lagi lezat yaitu rizki Kami, maka
menunjukkan bahwa rizki adalah sesuatu yang halal saja, bukan yang haram (ini
madzhab muktazilah). Sedang jika dita’alluqkan dengan kata rozaqo,
yang takdirnya: dan makanlah sebagian rizki Kami yang halal, maka menunjukkan
bahwa rizki ada yang halal dan ada yang haram (ini madzhab Sunni). (Ar-Razi)
3.
Lâ
tuharrimû: maksudnya jangan meyakini haramnya sesuatu yang halal. Sebab hal
itu menjadikan kekufuran. Adapun meninggalkan ladzat dunia tanpa membahayakan
diri dan mengganggu hak orang lain, maka ini terpuji. (Al-Khazin)
4.
Ayat
ini menunjukkan bahwa makanan lezat tidak bertentangan dengan tingkat keimanan.
Ayat ini juga memberikan pengertian larangan tidak membujang. Bahkan banyak
hadis yang menjelaskan hal itu. (Al-Alusi)
5.
Mengapa
ruhbaniyyah itu dilarang? Padahal bisa membuat konsentrasi penuh menghadap
Allah? Jawab: pertama, membuat akal kurang sempurna, kedua, tarap mujahadah
lebih kurang, karena nafsu dalam keadaan lemah, ketiga, membinasakan sistem
keturunan. (Ar-Razi)
6.
Kulû
mimmâ razaqokumullâh: ayat ini
memberi petunjuk untuk mengkonsumsi sebagian saja, dan menyedekahkan yang lain.
Begitu juga ayat ini memberi pengertian bahwa rizki sudah ditanggung Allah swt.
(Ar-Razi)
7.
Al-Quran
menganjurkan setiap makanan kita harus terbentuk dua unsur, halal dan bergizi
tinggi. (Depag)
Tafsir Isyarah:
Di antara kebahagaian adalah
mengikuti perintah Allah swt. Seperti halnya berisitirahat dalam kebahagiaan
khulwat. Jangan mentahrimkannya dengan berbaur dan tidak ‘uzlah. Halal adalah
makanan yang dinikmati dengan syuhud: merasa kehadiran Allah. Atau setidaknya
dengan berdzikir, sebab ghaflah itu hukumnya haram. (Al-Qusyairi)
Tafsir Fikih:
Menurut Madzhab Syafii: jika ada
seseorang bilang: istriku haram bagiku, maka dia tidak harus menepati. Karena
itu kinayah talak. Dan tidak wajib membayar kafarat. Sedang menurut Madzhab
Hanafi: wajib membayar kafarat jika tidak ditalak. (Al-Qurthubi)
QS. Al-Maidah:
89:
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي
أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ
فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ
أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ
فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ
وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آَيَاتِهِ
لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (89)
89. Allah tidak menghukum kamu disebabkan
sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum
kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar)
sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang
biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau
memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian,
maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat
sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar), dan jagalah sumpahmu.
Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur
(kepada-Nya).
Munasabah:
Setelah
Allah menjelaskan larangan ruhbânah, padahal ada beberapa sahabat yang
terlanjur bersumpah lalu mereka bertanya pada Nabi saw tentang sumpah mereka,
maka ayat ini menjelaskan. (Al-Biqo’i)
Asbabun
Nuzul:
Ibnu
Abbas berkata: saat turun QS. Al-Maidah: 87-88, sahabat yang terlibat bertanya:
bagaimana dengan sumpah kami, Nabi? Lalu turunlah ayat ini. (Ad-Dur)
Kosa
Kata:
1.
Al-Laghwu: dari kata laghâ yalghû laghwan minal kalâm, artinya: ucapan
yang tidak sejalan dengan pemikiran. Perkataan yang buruk juga disebut laghwun,
Quran menyebutnya lima kali dengan arti seperti ini. Yaitu: QS. Al-Mukminun:
3, Al-Qoshosh: 55, Ath-Thur: 23, Al-Waqi’ah: 25, An-Naba’: 35. Dan dalam sumpah
bisa diartikan: sumpah yang tidak ada tujuan, karena kebiasaan. Sebagaimana QS.
Al-Baqoroh: 225 dan Al-Maidah: 89. (Al-Mufrodat)
2.
Al-Aimân: jamak dari yamin. Aslinya berarti: tangan. Kadang bisa
berarti kepemilikan dan sumpah. Sumpah disebut yamin, sebab biasanya
orang yang bersumpah akan meletakkan tangannya di salah satu anggota tubuh. Aiman
dengan maksud sumpah ini disebutkan dalam QS. Al-Qolam: 39, An-Nur: 53, Al-Baqoroh:
225, At-Taubah: 12, dan ayat ini.
3.
‘Aqodtum: Imam Nafi, Ibnu Katsir, Abu Amr mentasydid qofnya. Imam
‘Ashim: mentakhfif. Sedang Ibnu Amir: membaca panjang ‘âqodtum. (Ibnu
Atiyyah)
4.
Ahlîkum:
Jumhur membaca: ahlîkum, jamak salim. Sedang Imam
Ja’far membaca: ahâlîkum, jamak taksir. (Zamakhsyari)
Tafsir
Riwayah:
1.
Laghwu:
Menurut Ibnu Abbas (sebagaimana pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah)
adalah bersumpah sesuatu yang diduga, dan ternyata tidak begitu. Sumpah ini
tidak berdosa dan tidak wajib kaffarat. Namun menurut Syafii: wajib kaffarat.
Sedang menurut Aisyah (sebagaimana pendapat Imam Syafii) adalah sumpah yang
terucap tanpa maksud bersumpah, misalnya: tidak, demi Allah. Maka sumpah ini
tidak dianggap dan tidak wajib kafarat. Namun menurut Abu Hanifah wajib kaffarat.
(Ar-Razi) menurut At-Tabari mencakup kedua pendapat itu, dan tidak wajib
membayar kaffarat semua. (At-Tabari)
2.
Ith’amu
‘asyarati masakin: Ibnu Abbas berkata: Nabi membayar
kafarat dengan satu sha’ kurma dan memerintahkan itu. Barang siapa tidak
dapat, maka dengan separoh gandum. Ibnu Umar
berkata: Nabi membayar kafarat dengan satu mud gandum. Imam Mujahid
berkata: setiap makanan dalam al-Quran itu berarti separoh sho’.
(ad-Dur)
3.
Min
ausathi: Ibnu Jubair berkata: di Madinah ada perselisihan antara makanan
orang besar dan kecil. Maka ayat ini dimaksudkan antara keduanya. (ad-Dur)
4.
Kiswatuhum: Aisyah berkata: nabi ditanya hal itu, beliau menjawab: selimut
untuk mereka. Imam Mujahid berkata: yang terendah adalah pakaian, dan tertinggi
adalah semaunya. (Ad-Dur)
5.
Roqobah: Imam al-Hasan tidak memperbolehkan budak kafir. Sedang Imam Thawus
memperbolehkan budak Nasrani atau Yahudi. (ad-Dur)
6.
Fashiyamu:
saat ayat ini turun, Hudzaifah bertanya: Nabi, kita boleh memilih?
Nabi menjawab: pilih memerdekakan, memberi pakaian, atau makanan. Jika tidak
mampu, berpuasalah tiga hari beruntun. Imam Mujahid berkata: Ubai bin Ka’ab
membaca: fashiyamu tsalatsati ayyamin mutatabi’atin. (ad-Dur)
Tafsir
Dirayah:
1.
Wahfadzu
aimanakum: ayat ini menunjukkan anjuran untuk tidak memperbanyak bersumpah.
(Al-Khazin) sebagaimana QS. Al-Baqoroh: 224.
2.
Yu’akhidzukum: mendapat dosa dan wajib kaffarat. (Al-Alusi)
3.
Ayat
ini mendahulukan ith’am atas ‘itqu (memerdekakan), menunjukkan
tidak wajib tertib, boleh memilih. Juga menunjukkan makanan lebih manfaat untuk
si miskin dan Allah menghendaki yang termudah untuk hambanya dulu. (Ar-Razi)
Tafsir
Isyarah:
1.
Kadang-kadang
dalam tatanan hukum ridha, kita sering bersumpah (latah, tidak mengikuti iradah
Allah), maka hal itu diampuni Allah. Yang utama adalah menyerah total
sebagaimana kehendak Penguasa swt. (Al-Qusyairi)
2.
Ayat
ini menunjukkan bahwa saat para wali dalam keadaan mabuk cinta Allah, dan mengatakan
sesuatu yang bertentangan syariat, maka hal itu diampuni Allah. Sebagai tebusan
kaffaratnya adalah: melebur diri, hati, dan jiwa kepada Sang Pencipta.
(Al-Qusyairi)
Tafsir
Fikih:
1.
Sumpah
ada tiga: yamin laghwun, mun’aqidah, dan yamin ghomus.[4]
Yamin Ghomus (sumpah kebohongan) wajib membayar kaffarat dan
berdosa, menurut Imam Syafii, sedang Abu Hanifah dan Imam lain: tidak wajib
membayar kaffarat.[5]
(Al-Alusi)
2.
Ulama
khilaf dalam batasan makanan kaffarat yang dikeluarkan. Imam Malik dan
Imam Syafii: satu mud[6].
Imam Abu Hanifah: separoh sho’ untuk gandum dan satu sho’ untuk
lainnya.[7]
Imam Ahmad: satu mud gandum atau separuh sho’ lainnya. (Al-Khazin)
3.
Ulama
sepakat bahwa ith’am harus dimilikkan.[8]
Jika hanya bentuk suguhan tidak cukup. Namun, Abu Hanifah mengatakan cukup.[9]
(Al-Khazin)
4.
Ulama
sepakat bahwa tidak boleh mengeluarkan qimah (kurs), kecuali Imam Abu
Hanifah. (Al-Khazin)
5.
Ulama
sepakat tidak boleh mengeluarkan tepung dan roti, harus berbentuk bebijian,
kecuali Imam Abu Hanifah. (Al-Khazin)
6.
Ulama
sepakat tidak boleh memberikan kaffarat kepada satu miskin dalam sepuluh
hari, kecuali Abu Hanifah.[10]
(Al-Khazin)
7.
Ulama
khilaf dalam batasan pakaian kaffarat. Imam Syafii: asal disebut
pakaian, walaupun celana, selendang, atau kopyah. Imam Malik dan Imam Ahmad:
harus bisa menutupi aurat dalam salat. (Al-Khazin) Imam Abu Hanifah: menutupi
seluruh tubuh. (Al-Alusi)
8.
Ulama
sepakat bahwa budak kaffarat harus mukminah, kecuali Abu Hanifah. Dan
mereka sepakat bahwa budaknya harus aman dari cacat.
9.
Ulama
khilaf dalam batasan tidak mampu membayar kaffarat berupa makanan. Imam
Syafii: jika sehari semalam dia punya biaya hidup keluarga dan cukup 10 miskin[11],
maka dia masih wajib ith’am. Abu Hanifah: jika dia tidak punya harta
yang wajib dizakati, maka tidak wajib ith’am. (Al-Khazin)
10.
Ulama
khilaf dalam runtunnya puasa. Imam Abu Hanifah dan Ahmad: wajib. Imam Malik dan
Syafii: tidak wajib.[12]
(Al-Khazin)
11.
Ulama
sepakat bahwa zakat dan kaffarat tidak boleh diberikan pada kafir
dzimmi, kecuali Abu Hanifah
yang membolehkan dalam kaffarat. (Al-Khazin)
12.
Ulama sepakat bahwa kaffarat boleh didahulukan sebelum menerjang sumpah[13], kecuali Abu Hanifah
yang melarang[14].
(Al-Khazin)
QS.
Al-Maidah: 90-
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ
وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ (90) إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ
الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ
ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ (91) وَأَطِيعُوا
اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَاحْذَرُوا فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا
أَنَّمَا عَلَى رَسُولِنَا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ (92) لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ
آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا
وَآَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَوْا وَآَمَنُوا ثُمَّ اتَّقَوْا
وَأَحْسَنُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (93)
90. Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya
(meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan.
91. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan
permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi
itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah
kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).
92. dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada
Rasul-(Nya) dan berhati-hatilah. jika kamu berpaling, Maka ketahuilah bahwa
Sesungguhnya kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan
terang.
93. tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka Makan dahulu,
apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang
saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga)
bertakwa dan berbuat kebajikan. dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan.
Munasabah
Setelah Allah swt menjelaskan hukum makanan, maka perlu menjelaskan
hukum minuman. Karena mabuk sering merusak harta, maka dibarengkan dengan judi. Dan judi
menghancurkan dunia, maka dibarengi syirik yang merusak agama, di antaranya anshab
dan azlam. Kemudian Allah menjelaskan akibat arak dan judi. Lalu sahabat
bertanya, bagaimana dengan orang-orang yang mati sedang mereka pernah melakukan
hal itu? Kemudian ayat setelah ini menjawab. (Al-Biqo’i)
Karena Allah menjelaskan bahwa makanan yang
enak itu dihalalkan, maka Allah menerangkan bahwa arak tetap haram meskipun
enak. (Ar-Razi)
Asbabun Nuzul
Kosa Kata
Tafsir Riwayat
Tafsir Dirayat
Tafsir Isyarat
Tafsir Kontemporer
Referensi
Asbabun
Nuzul, Al-Wakhidi.
Tafsirul
Quranil Adzim, Ibnu Katsir.
Mafatihul
Ghaib, Fakhruddin Ar-Razi.
Lathaiful
Isyarat, Al-Qusyairi
Ruhul
Ma’ani, Al-Alusi.
Al-Mufrodat
Fi Al-Fadzi al-Quran, Al-Ashbihani.
[1] Ibnu Hatim
menyebut bahwa sanad riwayat ini sahih kecuali Muhamad bin Idris, ayah Ibnu Abi
Hatim. (Ibnu Abi Hatim) Al-Haitsami mengatakan: perawinya sahih kecuali
Muhammad bin Usman, beliau tsiqah. (Majma’uz Zawaid)
[2] Hadis ini
lemah, sebab ada perawi bernama Yahya bin Ubaidillah yang sering membuat hadis
palsu. (Al-Jami’us Shaghir)
[3] Ibnu Hajar
berkata: setahuku hadis yang benar bukan begini. Tapi riwayat al-Baihaqi dari
Said bin Abi Waqqas adalah: sesungguhnya Allah telah mengganti ruhbaniyyah dengan
hanifiyyah samhah. (Kasyful Khafa’, 377/2)
[4] Yamin laghwun:
ada dua pendapat (lih. Kosakata di atas). Yamin mun’aqidah: sumpah untuk
sesuatu yang akan terjadi nanti. Ini wajib kaffarat. Yamin ghomus: sumpah
yang disengaja untuk kebohongan. (Tafsir Ayatul Ahkam, As-Sabuni).
[5] Dalil Imam
Syafii: ini adalah yamin yang diniati, dan setiap sumpah yang ada
niatnya berarti mun’aqidah, dan dikaffarati. Dalil Imam lain:
sumpah yang diwajibkan kaffarat adalah sumpah yang ada niat untuk
melaksanakan sesuatu (jika kamu bersumpah melakukan sesuatu, HR. Bukhari
Muslim), padahal sumpah palsu tidak ada niat melakukannya. (Al-Qurthubi)
[6] Dalilnya:
ukuran makanan secara syar’i itu ditentukan dalam hadis yang menceritakan bahwa
seorang jima’ di bulan ramadhan. Kemudian Nabi saw memberinya bejana yang
memuat 15 sha’ kurma untuk memberi makan 60 miskin. Berarti permiskin, ¼ sha’,
yaitu: 1 mud. Dan ini ukuran syar’i. (Ar-Razi)
[7] Dalilnya: ausathi:
adalah batas tengah, Imam Syafii tadi batas rendah. Maka perlu ditambah,
yaitu 1 mud lagi. Namun dijawab Imam Syafii: kata ausath masih ihtimal
maknanya, maka perlu diarahkan pada arti yang diyakini dan ada dalilnya, yaitu
tadi. (Ar-Razi)
[8] Dalilnya: diqiyaskan.
Jika pakaian harus diberikan, begitu juga makanan.
[9] Dalilnya: kata
ith’am tidak harus memberikan. Misalnya: tuth’imuna ahlikum (makanan
keluarga), makanan mereka tidak dimilikkan tapi diserahkan saja. Imam Syafii
menjawab: 1 mud atau lebih tidak bisa tercapai jika hanya berbentuk suguhan.
(Ar-Razi)
[10] Ini masalah ta’abbudi.
(Ar-Razi)
[11] Sebab inilah
batas terpaksa (darurat). (Ar-Razi)
[12] Dalil Abu
Hanifah: riwayat bacaan Ubai. Imam Syafii: sebab tidak ada ketentuan. Adapun
riwayat itu syadzah, tidak boleh dibuat hujjah. Lagian ada qira’ah:
fa ‘iddatun min ayyamin ukhoro mutatabi’atin, dan ternyata tidak wajib
beruntun dalam qodho Ramadhan. Jika disanggah: tapi, qiroah itu
terbantah dengan riwayat seseorang yang bertanya Nabi apakah harus beruntuk
mengqodho ramadhan? dan beliau menjawab: tidak. Maka jawabannya: begitu
juga dengan riwayat ini. Sebab al-‘ibrah bi ‘umumil lafdzi la bikhususis
sabab. (Ar-Razi)
[13] Berdasarkan
HR. Bukhari Muslim dari Abdurrahman bin Samurah: Nabi bersabda (dan jika engkau
bersumpah, kemudian melihat (hal lain) yang lebih baik, maka berkaffaratlah
dan laksanakan yang lebih baik itu.
[14] Dali mereka
adalah bahwa riwayat lain hadis di atas, “maka laksanakanlah, kemudian membayar
kaffaratlah. Syafiiyyah juga menggunakan dalil ayat di atas, bahwa: itu
adalah kaffarat jika kalian bersumpah. Ayat ini tidak ada penjelasan bahwa
kaffarat menunggu pelanggaran. Namun, ayat ini hanya menjelaskan kapan
kewajiban kaffarat bukan kapan pembolehannya. (Al-Alusi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar