Senin, Januari 09, 2012

PENGAJIAN TAFSIR


KAJIAN TAFSIR
(Dirosah Tafsirul Quran)
 Ayat ini menjelaskan tentang tabiat orang Yahudi dan Nasrani yang berbeda,

Allah menjelaskan dalam QS. Al-Maidah: 82-86 berikut ini:

bismillahirrahmanirrahim,
QS. Al-Maidah: 82-86:
لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَةً لِلَّذِينَ آَمَنُوا الْيَهُودَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا وَلَتَجِدَنَّ أَقْرَبَهُمْ مَوَدَّةً لِلَّذِينَ آَمَنُوا الَّذِينَ قَالُوا إِنَّا نَصَارَى ذَلِكَ بِأَنَّ مِنْهُمْ قِسِّيسِينَ وَرُهْبَانًا وَأَنَّهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ (82) وَإِذَا سَمِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَى الرَّسُولِ تَرَى أَعْيُنَهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ مِمَّا عَرَفُوا مِنَ الْحَقِّ يَقُولُونَ رَبَّنَا آَمَنَّا فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ (83) وَمَا لَنَا لَا نُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَمَا جَاءَنَا مِنَ الْحَقِّ وَنَطْمَعُ أَنْ يُدْخِلَنَا رَبُّنَا مَعَ الْقَوْمِ الصَّالِحِينَ (84) فَأَثَابَهُمُ اللَّهُ بِمَا قَالُوا جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ جَزَاءُ الْمُحْسِنِينَ (85) وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِآَيَاتِنَا أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ (86)
82. Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik, dan Sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Kami ini orang Nasrani", yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.
83. dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Quran) yang telah mereka ketahui (dari Kitab-Kitab mereka sendiri); seraya berkata: "Ya Tuhan Kami, Kami telah beriman, maka catatlah Kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Quran dan kenabian Muhammad saw).
84. mengapa Kami tidak akan beriman kepada Allah dan kepada kebenaran yang datang kepada Kami, padahal Kami sangat ingin agar Tuhan Kami memasukkan Kami ke dalam golongan orang-orang yang saleh ?".
85. Maka Allah memberi mereka pahala terhadap perkataan yang mereka ucapkan, (yaitu) surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya. dan itulah balasan (bagi) orang-orang yang berbuat kebaikan (yang ikhlas keimanannya).
86. dan orang-orang kafir serta mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itulah penghuni neraka.

Munasabah:
Setelah Allah menjelaskan perilaku Ahli kitab yang mendustakan Nabi dan ajarannya, ayat ini menghibur Nabi dengan menceritakan perselisihan sifat Yahudi yang kasar dengan sifat Nasrani yang lunak dan membeberkan semua tabiat dan perangai kaum nasrani serta balasannya. Dan memungkasi dengan perbandingan balasan bagi mereka yang kufur. (Ar-Razi)

Asbab Nuzul:
1.      Ibnu Abbas bercerita bahwa Nabi saw mengutus Ja’far bin Abi Thalib untuk hijrah ke Habsyah dan menghadap Najasyi. Kemudian dia diperintahkan Najasyi untuk membaca surat Maryam, lalu menangis semua pendeta di sekelilingnya. Dan turunlah ayat ini. (Asbabun Nuzul dan Ibnu Abi Hatim)[1] Namun riwayat ini perlu ditinjau ulang, sebab ayat ini Madaniyyah, sementara kisahnya makkiyyah. (Ibnu Katsir)
2.      Said bin Jubair mengisahkan bahwa Najasyi menyuruh 30 utusan menghadap Nabi saw, dan beliau membaca surat Yasin sampai selesai. Kemudian menangis para utusan dan berkata: Alangkah miripnya dengan apa yang diturunkan kepada Isa. Lalu turunlah ayat ini. (Asbabun Nuzul) dan QS. Al-Qoshosh: 54. (Ad-Dur)
3.      Salman bertutur: saat Nabi sampai Madinah, aku membuat makanan dan menghadiahkan pada Nabi, kemudian aku bertanya: Nabi, bagaimana menurutmu orang-orang Nasrani? Nabi menjawab: Orang yang tidak baik. Aku sedih. Lalu turun ayat ini. Dan aku dipanggil Nabi diberitahuinya. (Ad-Durr)

Kosa Kata:
1.      Al-Qissîsîn: jamak masdar Qassa bermakna meneliti (ilmu, ulama). Ibnu Atiyyah menyebutnya sebagai kata Ajam yang diarabkan. (Al-Bahru) adapun ar-Ruhbân adalah jamak kata râhib. (Ibnu Atiyyah) Ar-Ruhbân: mungkin plural kata rahib, atau mungkin juga bentuk tunggal. Pluralnya: Rahâbîn, seperti kata rukbân. (At-Tabari)
2.      Tafîdhu minad dam’i: terpenuhi dengan air mata. Majaz mursal ‘alaqoh sababiyyah. (Zamakhsyari)
3.      Wamâ lanâ lâ nu’minu: lâ nu’minu menjadi halnya kata mâ, sedang wa nuth’imu menjadi halnya kata nu’minu. (Zamakhsyari)
4.      Fa atsâbahumullahu: Al-Hasan membaca Fa âtâhumullahu. (Zamakhsyari)

Tafsir Riwayah:
1.      Ibnu Mardawih meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw bersabda: tidak seorang pun yahudi bersepi dengan muslim melainkan ingin membunuhnya.[2] (Ibnu Katsir)
2.      Salman bercerita: Aku membaca di hadapan Nabi saw begini: dzâlika bi anna minhum siddîqina wa ruhbâna. (Ibnu Katsir)
3.      Al-Hasan menafsiri al-Qissîsîna: ulama, sedang Ibnu Zaid menafsiri: ahli ibadah. (Ad-Du)
4.      Ibnu Abbas menafsiri Asy-Syahidîn: Nabi dan ummatnya. Sedang Ibnu Zaid menafsiri al-Qoum as-Salihîn: Nabi dan ummatnya. (Ad-Dur) namun juga bisa dimaksudkan lebih umum, yaitu yang beriman kepada Allah dan nabi-nabiNya. (Ar-Razi)
5.      Selain kemungkinan asbabunnuzul di atas, mungkin juga ayat ini turun saat Nabi menjelaskan sifat-sifat orang Nasrani yang sebelumnya patuh dengan Isa, kemudian tunduk pada Nabi saw. (At-Tabari)

Tafsir Dirayah:
1.      Ayat ini menunjukkan bahwa dalam ajaran Yahudi mengharuskan mengecam pemeluk agama lain, berbeda dengan ajaran Nasrani. Dan penyebabnya adalah ambisi duniawi (sebagaimana QS. Al-Baqoroh: 96), sedangkan para pendeta tidak. Padahal keburukan Nasrani lebih besar, sebab mereka menyerang akidah ketuhanan dan kenabian, sedang Yahudi hanya menyerang akidah kenabian saja. (Ar-Razi)
2.      Ayat ini menghibur Nabi saw dengan menjelaskan tabiat Ahli Kitab agar Nabi maklum. (Ar-Razi)
3.      Mengapa ruhban di sini mendapat pujian padahal Nabi tidak senang sifat itu (beliau bersabda: tidak ada ruhbaniyah dalam Islam)?[3] Jawab: pujian ini dibanding dengan perilaku dan tabiat orang Yahudi. Bukan pujian secara mutlak. (Al-Khazin)
4.      Ayat ini (85), menunjukkan bahwa orang mukmin yang fasik akan masuk surga, meskipun setelah disiksa di neraka. Sebab balasan bimâ qôlû (ikrar dan makrifat sebagaimana penjelasan ayat sebelumnya) adalah surga, sedang orang fasik masih ikrar dan makrifat. Dan juga ayat setelahnya (86), menunjukkan hasr (batasan) yang masuk neraka adalah orang kafir. (Ar-Razi)
5.      Ayat ini menunjukkan bahwa tawadhu’, ilmu, dan tidak menuruti nafsu adalah perbuatan mulia bagi siapapun. (Al-Alusi)

Tafsir Isyarah:
1.      Al-Ladzîna qôlu innâ nashârâ: isyarat bahwa sebenarnya yang sejaman Nabi saw bukan nasrani yang sebenarnya, namun hanya pengakuan saja. (Ibnu Atiyyah)
2.      Al-Yahûd: disebabkan mereka terhijab dari tauhid dzat dan sifat, mereka hanya tahu tauhid af’al saja. Adapun orang kafir terhijab semuanya. Sedangkan orang nasrani terhijab dzat saja, sebab mereka menyadari bahwa semua sifat milik Allah, oleh karena itu mereka tidak sombong. Dan orang muslim bertauhid secara sempurna. (Al-Alusi)
3.      Waidzâ sami’û: ini adalah tabiat mereka yang menerima kebenaran. Jika hatinya terketuk ajakan kebaikan, maka jiwanya akan tersenyum tenang. (Al-Qusyairi)

Tafsir Kontemporer:
1.      Ayat ini menunjukkan bahwa permusuhan orang Yahudi lebih dahsyat dibanding kaum kafir paganisme. Sebab Yahudi tidak akan pernah berhenti menyerang dan membuat siasat perang. Yang memprakarsai pembuatan hadis palsu, menjatuhkan sistem khilafah, mempropaganda paham marxisme dan materialistis, semuanya dalangnya adalah Yahudi. (Adz-Dzilal)
2.      Ayat ini juga perlu dipahami dengan baik. Tidak semua orang Nasrani bersikap demikian. Ini tertentu pada golongan yang jika mendengar Quran, akan menetes air mata mereka karena iman. Oleh sebab itu, ayat ini dipungkasi dengan orang-orang kafir yang artinya golongan nasrani yang tidak mempunyai sifat demikian. Hal ini terbukti dalam perang Salib misalnya. (Adz-Dzilal). Hal ini sebagaimana yang disinggung al-Alusi bahwa ada dua kemungkinan ayat ini, bisa umum sampai kapanpun dan bisa khusus yang beriman saat Nabi saw masih hidup. (Al-Alusi)



QS. Al-Maidah: 87-88:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ (87) وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ (88)

Munasabah:
Setelah Allah membahas rinci perbincangan kaum Yahudi dan Nasrani, Allah kembali menjelaskan tentang hukum. (Ar-Razi) Karena ayat lalu menjelaskan sikap Nasrani sebagai ruhbân (pendeta) yang bahkan juga berlebihan dengan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah yang kesannya Allah memuji-muji mereka, maka ayat ini melarang kaum mukmin untuk melakukan seperti itu. (Al-Bahru)

Asbab Nuzul:
1.      Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa ada seseorang berkata pada Nabi saw: sesungguhnya jika aku makan daging, akan tergerak syahwatku pada wanita. Maka aku haramkan makan daging. Kemudian turunlah ayat ini. (Asbabun Nuzul)
2.      Ibnu Abbas juga mengisahkan bahwa ada beberapa sahabat yang bersumpah: kami akan memotong kelamin, meninggalkan dunia, dan mengembara sebagaimana ruhbân. Kemudian sampai pada Nabi dan beliau bersabda: tapi aku puasa, tidur, dan menikah. Barang siapa membenci sunnahku, bukan ummatku. (Ad-Dur)
3.      Abdullah bin Rawahah bercerita saat istrinya tidak menyuguhi tamu lantaran menunggunya, lalu dia berkata: celaka kamu, kenapa harus menungguku. Aku bersumpah, makanan ini haram untukku. Istri dan tamu juga bersumpah sepertinya. Lalu dia mengajak mereka makan. Kemudian paginya beliau bercerita pada Nabi dan beliau bersabda: ahsanta: Kamu baik. (Ibnu Atiyyah)
4.      Anas bercerita: beberapa sahabat datang ke rumah istri Nabi dan bertanya amal beliau. Setelah mereka tahu, mereka berjanji tidak menikah, dan tidak tidur. Saat Nabi tahu, beliau melarangnya. (Al-Bukhari, Ibnu Katsir)

Kosa Kata:
1.      La tuharrimû: jangan menahan diri seperti barang haram, atau jangan berkata: saya haramkan  hal ini padaku. (Zamakhsyari)
2.      Halâlan: menjadi hal kata razaqa. (Zamakhsyari)
3.      Ath-Thayyibât: makanan yang enak, terbukti disandarkan pada ahalla. (Ibnu Atiyyah)
4.      Kulû: maksudnya konsumsilah, baik dengan memakan, minum, memakai, mengendarai, dll. (Ibnu Atiyyah)

Tafsir Riwayah:
1.      Walâ ta’tadû: As-Sudi menafsiri: jangan mencegah diri, jadi ini taukid ayat sebelumnya. Al-Hasan menafsiri: jangan kelewat batas dengan menghalalkan yang haram. Jadi, ini pelengkap, kalau sebelumnya jangan mengharamkan, maka ini jangan menghalalkan. (Ibnu Atiyyah)
2.      Umar ra bertanya pada seseorang: kamu beristri? Dia jawab: tidak. Kemudian Umar berkata: mungkin kamu bodoh atau fasik. (Ad-Dur)
3.      Abdullah bin al-Mubarak berkata: halal adalah mengambil sesuatu semestinya. Thayyib adalah sesuatu yang bisa membuat gemuk dan bergizi. (Al-Khazin)

Tafsir Dirayah:
1.      Ayat ini menunjukkan rizki adalah sesuatu yang bisa dikonsumsi (dimanfaatkan), tidak harus dimiliki (berbeda dengan muktazilah). Dalilnya adalah QS. Saba’: 15. Makanlah rizki dari Allah dan syukuri. Negeri yang makmur dan Tuhan Pengampun. Ada ampunan berarti ada hal yang haram dikonsumsi. Dan itu disebut Allah sebagai rizki. (Ibnu Atiyyah) Lagian jika rizki tidak mencakup harta haram, maka tidak ada faidah menyebutkan kata halal di sini, kecuali sekedar penguat. Dan itu khilafudz dzahir. (Al-Alusi)
2.      Halâlan Thayyiban: jika dita’alluqkan dengan kata kulû, yang takdirnya: dan makanlah harta halal lagi lezat yaitu rizki Kami, maka menunjukkan bahwa rizki adalah sesuatu yang halal saja, bukan yang haram (ini madzhab muktazilah). Sedang jika dita’alluqkan dengan kata rozaqo, yang takdirnya: dan makanlah sebagian rizki Kami yang halal, maka menunjukkan bahwa rizki ada yang halal dan ada yang haram (ini madzhab Sunni). (Ar-Razi)
3.      Lâ tuharrimû: maksudnya jangan meyakini haramnya sesuatu yang halal. Sebab hal itu menjadikan kekufuran. Adapun meninggalkan ladzat dunia tanpa membahayakan diri dan mengganggu hak orang lain, maka ini terpuji. (Al-Khazin)
4.      Ayat ini menunjukkan bahwa makanan lezat tidak bertentangan dengan tingkat keimanan. Ayat ini juga memberikan pengertian larangan tidak membujang. Bahkan banyak hadis yang menjelaskan hal itu. (Al-Alusi)
5.      Mengapa ruhbaniyyah itu dilarang? Padahal bisa membuat konsentrasi penuh menghadap Allah? Jawab: pertama, membuat akal kurang sempurna, kedua, tarap mujahadah lebih kurang, karena nafsu dalam keadaan lemah, ketiga, membinasakan sistem keturunan. (Ar-Razi)
6.      Kulû mimmâ razaqokumullâh: ayat ini memberi petunjuk untuk mengkonsumsi sebagian saja, dan menyedekahkan yang lain. Begitu juga ayat ini memberi pengertian bahwa rizki sudah ditanggung Allah swt. (Ar-Razi)
7.      Al-Quran menganjurkan setiap makanan kita harus terbentuk dua unsur, halal dan bergizi tinggi. (Depag)

Tafsir Isyarah:
Di antara kebahagaian adalah mengikuti perintah Allah swt. Seperti halnya berisitirahat dalam kebahagiaan khulwat. Jangan mentahrimkannya dengan berbaur dan tidak ‘uzlah. Halal adalah makanan yang dinikmati dengan syuhud: merasa kehadiran Allah. Atau setidaknya dengan berdzikir, sebab ghaflah itu hukumnya haram. (Al-Qusyairi)

Tafsir Fikih:
Menurut Madzhab Syafii: jika ada seseorang bilang: istriku haram bagiku, maka dia tidak harus menepati. Karena itu kinayah talak. Dan tidak wajib membayar kafarat. Sedang menurut Madzhab Hanafi: wajib membayar kafarat jika tidak ditalak. (Al-Qurthubi)

QS. Al-Maidah: 89:
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آَيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (89)
89. Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar), dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).

Munasabah:
Setelah Allah menjelaskan larangan ruhbânah, padahal ada beberapa sahabat yang terlanjur bersumpah lalu mereka bertanya pada Nabi saw tentang sumpah mereka, maka ayat ini menjelaskan. (Al-Biqo’i)

Asbabun Nuzul:
Ibnu Abbas berkata: saat turun QS. Al-Maidah: 87-88, sahabat yang terlibat bertanya: bagaimana dengan sumpah kami, Nabi? Lalu turunlah ayat ini. (Ad-Dur)

Kosa Kata:
1.      Al-Laghwu: dari kata laghâ yalghû laghwan minal kalâm, artinya: ucapan yang tidak sejalan dengan pemikiran. Perkataan yang buruk juga disebut laghwun, Quran menyebutnya lima kali dengan arti seperti ini. Yaitu: QS. Al-Mukminun: 3, Al-Qoshosh: 55, Ath-Thur: 23, Al-Waqi’ah: 25, An-Naba’: 35. Dan dalam sumpah bisa diartikan: sumpah yang tidak ada tujuan, karena kebiasaan. Sebagaimana QS. Al-Baqoroh: 225 dan Al-Maidah: 89. (Al-Mufrodat)
2.      Al-Aimân: jamak dari yamin. Aslinya berarti: tangan. Kadang bisa berarti kepemilikan dan sumpah. Sumpah disebut yamin, sebab biasanya orang yang bersumpah akan meletakkan tangannya di salah satu anggota tubuh. Aiman dengan maksud sumpah ini disebutkan dalam QS. Al-Qolam: 39, An-Nur: 53, Al-Baqoroh: 225, At-Taubah: 12, dan ayat ini.
3.      ‘Aqodtum: Imam Nafi, Ibnu Katsir, Abu Amr mentasydid qofnya. Imam ‘Ashim: mentakhfif. Sedang Ibnu Amir: membaca panjang ‘âqodtum. (Ibnu Atiyyah)
4.      Ahlîkum: Jumhur membaca: ahlîkum, jamak salim. Sedang Imam Ja’far membaca: ahâlîkum, jamak taksir. (Zamakhsyari)

Tafsir Riwayah:
1.      Laghwu: Menurut Ibnu Abbas (sebagaimana pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah) adalah bersumpah sesuatu yang diduga, dan ternyata tidak begitu. Sumpah ini tidak berdosa dan tidak wajib kaffarat. Namun menurut Syafii: wajib kaffarat. Sedang menurut Aisyah (sebagaimana pendapat Imam Syafii) adalah sumpah yang terucap tanpa maksud bersumpah, misalnya: tidak, demi Allah. Maka sumpah ini tidak dianggap dan tidak wajib kafarat. Namun menurut Abu Hanifah wajib kaffarat. (Ar-Razi) menurut At-Tabari mencakup kedua pendapat itu, dan tidak wajib membayar kaffarat semua. (At-Tabari)
2.      Ith’amu ‘asyarati masakin: Ibnu Abbas berkata: Nabi membayar kafarat dengan satu sha’ kurma dan memerintahkan itu. Barang siapa tidak dapat, maka dengan separoh gandum. Ibnu Umar  berkata: Nabi membayar kafarat dengan satu mud gandum. Imam Mujahid berkata: setiap makanan dalam al-Quran itu berarti separoh sho’. (ad-Dur)
3.      Min ausathi: Ibnu Jubair berkata: di Madinah ada perselisihan antara makanan orang besar dan kecil. Maka ayat ini dimaksudkan antara keduanya. (ad-Dur)
4.      Kiswatuhum: Aisyah berkata: nabi ditanya hal itu, beliau menjawab: selimut untuk mereka. Imam Mujahid berkata: yang terendah adalah pakaian, dan tertinggi adalah semaunya. (Ad-Dur)
5.      Roqobah: Imam al-Hasan tidak memperbolehkan budak kafir. Sedang Imam Thawus memperbolehkan budak Nasrani atau Yahudi. (ad-Dur)
6.      Fashiyamu: saat ayat ini turun, Hudzaifah bertanya: Nabi, kita boleh memilih? Nabi menjawab: pilih memerdekakan, memberi pakaian, atau makanan. Jika tidak mampu, berpuasalah tiga hari beruntun. Imam Mujahid berkata: Ubai bin Ka’ab membaca: fashiyamu tsalatsati ayyamin mutatabi’atin. (ad-Dur)

Tafsir Dirayah:
1.      Wahfadzu aimanakum: ayat ini menunjukkan anjuran untuk tidak memperbanyak bersumpah. (Al-Khazin) sebagaimana QS. Al-Baqoroh: 224.
2.      Yu’akhidzukum: mendapat dosa dan wajib kaffarat. (Al-Alusi)
3.      Ayat ini mendahulukan ith’am atas ‘itqu (memerdekakan), menunjukkan tidak wajib tertib, boleh memilih. Juga menunjukkan makanan lebih manfaat untuk si miskin dan Allah menghendaki yang termudah untuk hambanya dulu. (Ar-Razi)

Tafsir Isyarah:
1.      Kadang-kadang dalam tatanan hukum ridha, kita sering bersumpah (latah, tidak mengikuti iradah Allah), maka hal itu diampuni Allah. Yang utama adalah menyerah total sebagaimana kehendak Penguasa swt. (Al-Qusyairi)
2.      Ayat ini menunjukkan bahwa saat para wali dalam keadaan mabuk cinta Allah, dan mengatakan sesuatu yang bertentangan syariat, maka hal itu diampuni Allah. Sebagai tebusan kaffaratnya adalah: melebur diri, hati, dan jiwa kepada Sang Pencipta. (Al-Qusyairi)

Tafsir Fikih:
1.      Sumpah ada tiga: yamin laghwun, mun’aqidah, dan yamin ghomus.[4] Yamin Ghomus (sumpah kebohongan) wajib membayar kaffarat dan berdosa, menurut Imam Syafii, sedang Abu Hanifah dan Imam lain: tidak wajib membayar kaffarat.[5] (Al-Alusi)
2.      Ulama khilaf dalam batasan makanan kaffarat yang dikeluarkan. Imam Malik dan Imam Syafii: satu mud[6]. Imam Abu Hanifah: separoh sho’ untuk gandum dan satu sho’ untuk lainnya.[7] Imam Ahmad: satu mud gandum atau separuh sho’ lainnya. (Al-Khazin)
3.      Ulama sepakat bahwa ith’am harus dimilikkan.[8] Jika hanya bentuk suguhan tidak cukup. Namun, Abu Hanifah mengatakan cukup.[9] (Al-Khazin)
4.      Ulama sepakat bahwa tidak boleh mengeluarkan qimah (kurs), kecuali Imam Abu Hanifah. (Al-Khazin)
5.      Ulama sepakat tidak boleh mengeluarkan tepung dan roti, harus berbentuk bebijian, kecuali Imam Abu Hanifah. (Al-Khazin)
6.      Ulama sepakat tidak boleh memberikan kaffarat kepada satu miskin dalam sepuluh hari, kecuali Abu Hanifah.[10] (Al-Khazin)
7.      Ulama khilaf dalam batasan pakaian kaffarat. Imam Syafii: asal disebut pakaian, walaupun celana, selendang, atau kopyah. Imam Malik dan Imam Ahmad: harus bisa menutupi aurat dalam salat. (Al-Khazin) Imam Abu Hanifah: menutupi seluruh tubuh. (Al-Alusi)
8.      Ulama sepakat bahwa budak kaffarat harus mukminah, kecuali Abu Hanifah. Dan mereka sepakat bahwa budaknya harus aman dari cacat.
9.      Ulama khilaf dalam batasan tidak mampu membayar kaffarat berupa makanan. Imam Syafii: jika sehari semalam dia punya biaya hidup keluarga dan cukup 10 miskin[11], maka dia masih wajib ith’am. Abu Hanifah: jika dia tidak punya harta yang wajib dizakati, maka tidak wajib ith’am. (Al-Khazin)
10.  Ulama khilaf dalam runtunnya puasa. Imam Abu Hanifah dan Ahmad: wajib. Imam Malik dan Syafii: tidak wajib.[12] (Al-Khazin)
11.  Ulama sepakat bahwa zakat dan kaffarat tidak boleh diberikan pada kafir dzimmi, kecuali Abu Hanifah yang membolehkan dalam kaffarat. (Al-Khazin)
12.  Ulama sepakat bahwa kaffarat boleh didahulukan sebelum menerjang sumpah[13], kecuali Abu Hanifah yang melarang[14]. (Al-Khazin)


QS. Al-Maidah: 90-
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (90) إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ (91) وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَاحْذَرُوا فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّمَا عَلَى رَسُولِنَا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ (92) لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَآَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَوْا وَآَمَنُوا ثُمَّ اتَّقَوْا وَأَحْسَنُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (93)
90. Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
91. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).
92. dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul-(Nya) dan berhati-hatilah. jika kamu berpaling, Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.
93. tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka Makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

Munasabah
Setelah Allah swt menjelaskan hukum makanan, maka perlu menjelaskan hukum minuman. Karena mabuk sering merusak harta, maka dibarengkan dengan judi. Dan judi menghancurkan dunia, maka dibarengi syirik yang merusak agama, di antaranya anshab dan azlam. Kemudian Allah menjelaskan akibat arak dan judi. Lalu sahabat bertanya, bagaimana dengan orang-orang yang mati sedang mereka pernah melakukan hal itu? Kemudian ayat setelah ini menjawab. (Al-Biqo’i)
Karena Allah menjelaskan bahwa makanan yang enak itu dihalalkan, maka Allah menerangkan bahwa arak tetap haram meskipun enak. (Ar-Razi)

Asbabun Nuzul


Kosa Kata

Tafsir Riwayat


Tafsir Dirayat

Tafsir Isyarat

Tafsir Kontemporer



Referensi
Asbabun Nuzul, Al-Wakhidi.
Tafsirul Quranil Adzim, Ibnu Katsir.
Mafatihul Ghaib, Fakhruddin Ar-Razi.
Lathaiful Isyarat, Al-Qusyairi
Ruhul Ma’ani, Al-Alusi.
Al-Mufrodat Fi Al-Fadzi al-Quran, Al-Ashbihani.


[1] Ibnu Hatim menyebut bahwa sanad riwayat ini sahih kecuali Muhamad bin Idris, ayah Ibnu Abi Hatim. (Ibnu Abi Hatim) Al-Haitsami mengatakan: perawinya sahih kecuali Muhammad bin Usman, beliau tsiqah. (Majma’uz Zawaid)
[2] Hadis ini lemah, sebab ada perawi bernama Yahya bin Ubaidillah yang sering membuat hadis palsu. (Al-Jami’us Shaghir)
[3] Ibnu Hajar berkata: setahuku hadis yang benar bukan begini. Tapi riwayat al-Baihaqi dari Said bin Abi Waqqas adalah: sesungguhnya Allah telah mengganti ruhbaniyyah dengan hanifiyyah samhah. (Kasyful Khafa’, 377/2)
[4] Yamin laghwun: ada dua pendapat (lih. Kosakata di atas). Yamin mun’aqidah: sumpah untuk sesuatu yang akan terjadi nanti. Ini wajib kaffarat. Yamin ghomus: sumpah yang disengaja untuk kebohongan. (Tafsir Ayatul Ahkam, As-Sabuni).
[5] Dalil Imam Syafii: ini adalah yamin yang diniati, dan setiap sumpah yang ada niatnya berarti mun’aqidah, dan dikaffarati. Dalil Imam lain: sumpah yang diwajibkan kaffarat adalah sumpah yang ada niat untuk melaksanakan sesuatu (jika kamu bersumpah melakukan sesuatu, HR. Bukhari Muslim), padahal sumpah palsu tidak ada niat melakukannya. (Al-Qurthubi)
[6] Dalilnya: ukuran makanan secara syar’i itu ditentukan dalam hadis yang menceritakan bahwa seorang jima’ di bulan ramadhan. Kemudian Nabi saw memberinya bejana yang memuat 15 sha’ kurma untuk memberi makan 60 miskin. Berarti permiskin, ¼ sha’, yaitu: 1 mud. Dan ini ukuran syar’i. (Ar-Razi)
[7] Dalilnya: ausathi: adalah batas tengah, Imam Syafii tadi batas rendah. Maka perlu ditambah, yaitu 1 mud lagi. Namun dijawab Imam Syafii: kata ausath masih ihtimal maknanya, maka perlu diarahkan pada arti yang diyakini dan ada dalilnya, yaitu tadi. (Ar-Razi)
[8] Dalilnya: diqiyaskan. Jika pakaian harus diberikan, begitu juga makanan.
[9] Dalilnya: kata ith’am tidak harus memberikan. Misalnya: tuth’imuna ahlikum (makanan keluarga), makanan mereka tidak dimilikkan tapi diserahkan saja. Imam Syafii menjawab: 1 mud atau lebih tidak bisa tercapai jika hanya berbentuk suguhan. (Ar-Razi)
[10] Ini masalah ta’abbudi. (Ar-Razi)
[11] Sebab inilah batas terpaksa (darurat). (Ar-Razi)
[12] Dalil Abu Hanifah: riwayat bacaan Ubai. Imam Syafii: sebab tidak ada ketentuan. Adapun riwayat itu syadzah, tidak boleh dibuat hujjah. Lagian ada qira’ah: fa ‘iddatun min ayyamin ukhoro mutatabi’atin, dan ternyata tidak wajib beruntun dalam qodho Ramadhan. Jika disanggah: tapi, qiroah itu terbantah dengan riwayat seseorang yang bertanya Nabi apakah harus beruntuk mengqodho ramadhan? dan beliau menjawab: tidak. Maka jawabannya: begitu juga dengan riwayat ini. Sebab al-‘ibrah bi ‘umumil lafdzi la bikhususis sabab. (Ar-Razi)
[13] Berdasarkan HR. Bukhari Muslim dari Abdurrahman bin Samurah: Nabi bersabda (dan jika engkau bersumpah, kemudian melihat (hal lain) yang lebih baik, maka berkaffaratlah dan laksanakan yang lebih baik itu.
[14] Dali mereka adalah bahwa riwayat lain hadis di atas, “maka laksanakanlah, kemudian membayar kaffaratlah. Syafiiyyah juga menggunakan dalil ayat di atas, bahwa: itu adalah kaffarat jika kalian bersumpah. Ayat ini tidak ada penjelasan bahwa kaffarat menunggu pelanggaran. Namun, ayat ini hanya menjelaskan kapan kewajiban kaffarat bukan kapan pembolehannya. (Al-Alusi)

Tidak ada komentar:

SMS GRATIS