Senin, Maret 21, 2011

Filsafat Semester Empat


SARANA BERPIKIR ILMIAH
A.      Pendahuluan
Manusia diciptakan sebagai khalifah bumi. Eksistensinya tidak hanya membutuhkan pelengkap jasmani saja. Namun, diperlukan penunjang tunggal yang dapat mengatur, mengembangkan, dan memudahkan keperluan mereka. Dan inilah yang disebut dengan akal pikiran. Hal inilah yang membedakan manusia dengan makhluk bumi lainnya. Pengoptimalan pemikiran pada hal-hal positif dapat mengangkat kesulitan dan kebutuhan manusia. Mengapa harus berpikir? 

Kita perlu ingat tiga hal utama. Pertama, pepatah yang artinya, “Banyak orang yang sudah meninggal dunia, namun namanya tidak akan mati, yang tetap diingat budi pekertinya yang mulia. Sebaliknya, meski banyak seorang masih hidup tetapi dianggap mati karena tidak ada jasa kebaikan sama sekali”. Kedua, hadis Nabi saw yang menyebutkan, “Sayyidah Aisyah bertanya kepada Nabi saw, “Dengan apa manusia bisa bahagia di dunia?”, Nabi saw menjawab, “Dengan akal pikirannya”. Lalu Aisyah bertanya, “Dengan apa dia dapat hidup bahagia di akhirat?”, Nabi saw menjawab, “Dengan akalnya”. Kemudian Aisyah bertanya lagi, “Apakah amal perbuatan tidak dibalas?”. Nabi saw menjawab, “Hai Aisyah, apakah manusia itu berbuat apa saja tidak sekedar kemampuan dari akal pikirannya yang telah diberikan Allah swt, nah dengan akal yang diberikan itulah manusia dapat berbuat dan dari perbuatan itulah yang akan mendapat balasan”.
Ketiga, firman Allah swt, “Jika engkau bersyukur, maka akan ditambahkanlah (nikmat) kepadamu, dan jika engkau mengingkari, maka siksa-Ku lebih dahsyat”.[1]
Problematika yang timbul dalam proses berpikir untuk di kategorikan ilmiah adalah tidak adanya sarana prasarananya. Hal ini dianggap sebagai masalah, sebab akan menghambat proses berpikir dan sistematikanya. Oleh karenanya, untuk membentuk pola merenung yang benar, diperlukan beberapa cara dan sarana untuk berpikir. Sehingga akan terselamatkan dari kesalahan sistematikanya. Berikut makalah akan membahas sarana berpikir ilmiah. Perumusannnya sebagai berikut.
B.      Rumusan Masalah
Permasalahannya penulis rumuskan berikut ini:
1.      Bagaimana definisi sarana berpikir ilmiah?
2.      Bagaimana klasifikasi sarana untuk berpikir secara ilmiah?
3.      Apa fungsi sarana berpikir ilmiah itu?
C.      Pembahasan
1.      Definisi Sarana Berpikir Ilmiah
Sarana berarti alat yang digunakan untuk mendekati, menolong, atau sampai pada sesuatu. Dengan perkataan lain, sarana berpikir ilmiah memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmiah dengan baik, teratur dan cermat. [2] Sedang berpikir ilmiah adalah aktivitas yang dilaksanakan dengan metode tertentu, dan akhirnya aktivitas metodis itu mendatangkan pengetahuan yang sistematis. Hal ini mempunyai lima ciri pokok.[3] Pertama, empiris (berdasarkan pengamatan dan percobaan). Artinya ilmu harus dibuktikan dalam sebuah eksperimen. Realitas yang demikian kaya raya akan menuntut berbagai metode dalam kelahiran dan pengembangannya. Merupakan hal yang wajar apabila ilmu pengetahuan dibangun oleh eksperimen, tetapi tidak akan meyentuh realitas yang asasi yang disebut sebagai hakikat.[4]
Kedua, sistematis (mempunyai hubungan ketergantungan dan teratur). Ketiga, obyektif (bebas dari prasangka perseorangan). Sutardjo mengatakan, “Obejektif adalah tidak bergantung pada subjek, tetapi pada objek atau sesuai dengan objeknya. Sebagai contoh, apabila seseorang menyatakan bahwa barang itu berat, itulah yang disebut subjektif, sedangkan jika barang itu disebut 100 kg, pernyataan itu disebut objektif. Artinya, nilai objektif filsafat terdapat pada ciri-ciri tertentu yang ditampilkannya dan karenanya dapat diamati orang.” [5]
Keempat, analitis (berusaha membedakan pokok soalnya ke dalam bagian-bagian yang terperinci). Kelima, verifikatif (dapat diperiksa kebenarannya oleh siapapun juga).[6]
2.      Klasifikasi Sarana Untuk Berpikir Secara Ilmiah
Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik maka diperlukan sarana yang berupa bahasa, logika, matematika, dan statistika. Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah dan untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain. Dilihat dari pola berpikirnya maka ilmu merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan induktif. Untuk itu maka penalaran ilmiah menyandarkan diri pada proses logika deduktif dan induktif. Matematika mempunyai peranan yang penting dalam berpikir deduktif ini, sedangkan statistik mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif.[7]
a.       Bahasa
Berpikir adalah berbicara dengan diri sendiri di dalam batin, atau aktivitas manusia berpikir adalah membanding, menganalisis serta menghubungkan proposisi yang satu dengan lainnya. Bila orang berbicara dengan kata-kata, maka orang berpikir dengan menggunakan ‘konsep’ yang ada dalam pikiran dan tidak perlu diucapkan dengan lisan atau tulisan, meskipun hal itu dapat membantu dan merumuskan jalan pikiran dengan lebih jelas dan teliti. Apabila apa yang ada dalam pikiran itu hendak diberitahukan kepada orang lain, maka isi pikiran itu harus dinyatakan dan dilahirkan dalam ungkapan.  Untuk menyatakan isi pikiran itu, diperlukan suatu alat komunikasi, yaitu dengan ‘bahasa’.
Bahasa, baik lisan atau tertulis adalah alat untuk menyatakan pikiran. Jadi, antara bahasa dan pikiran ada hubungan timbal-balik. Berpikiran dengan jelas dan tepat menuntut kata-kata yang tepat. Sebaliknya, kata-kata yang tepat sangat menolong untuk berpikir dengan lurus.[8]
Hakikat bahasa adalah susunan dari perangkat-perangkat tanda yang digabungkan dengan cara-cara tertentu. Ada tanda-tanda satu demi satu, seperti yang ditunjukkan oleh huruf-huruf abjad. Bila huruf-huruf ini digabungkan dengan cara-cara tertentu, maka sejumlah darinya menimbulkan apa yang dinamakan “kata-kata” atau “istilah-istilah dasar” bahasa. Misalnya, kita menjumpai huruf a, t, d, c. Jika a, t, c kita gabungkan dengan urutan-urutan yang tepat, maka kita akan mendapatkan “cat”, yang menunjukkan seekor binatang. Dalam bahasa kefilsafatan khususnya, yang penting ialah hendaknya janganlah kita beranggapan telah mengetahui sepenuhnya makna yang dikandung oleh suatu istilah. Bahkan sebaliknya, kita justru harus selalu siap beranggapan bahwa kita tidak mengetahui maknanya.[9]
Lebih lengkapnya, bahasa adalah “a systematic means of communicating ideas of feeling by the use of conventionalized signs, sounds, gestures, or marks having understood meanings”. Dalam KBBI, diterangkan bahwa bahasa ialah “sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri”. Definisi-definisi bahasa tersebut menekankan bunyi, lambang, sistematika, komunikasi, dan alat.[10]
b.      Logika Matematika dan ilmu kasyf
Pengetahuan yang bersumber dari kepercayaan menunjukkan bahwa pengetahuan itu diperoleh melalui cara mewarisi apa saja yang hidup dan berlaku dalam adat, kebiasaan, dan kehidupan keagamaan. Tingkatan ini diperoleh dengan cara yang sangat sederhana tanpa menggunakan pendekatan-pendekatan dan metode-metode apapun. Begitu halnya dengan Pengetahuan indriawi adalah potensi bagi pengetahuan yang bersumber dari akal pikiran. Bagi akal pikiran, apa yang diketahui oleh panca indera itu hanyalah sekadar ‘bahan mentah’ yang perlu dibentuk menjadi suatu sistem sehingga menjadi ‘konsep’ atau prinsip yang merupakan sebuah pengetahuan umum. Dengan berpikir logis, tanpa pengetahuan indera, akal pikiran mampu mendapatkan pengetahuan yang jelas, pasti, dan benar. Misalnya, jika A sama dengan B, dan jika B sama dengan C, maka pastilah A sama dengan C.

Cara mendapatkan pengetahuan lain adalah intuisi jiwa (kasyf). Sebagai sumber pengetahuan, intuisi memperoleh pengetahuan secara langsung, tetapi jelas dan pasti bagi orang tertentu. Namun demikian, apa yang diketahui secara intuitif bagi seseorang belum belum tentu sama bagi orang lain. Artinya, cara seseorang mendapatkan pengetahuan yang pasti itu tidak atau belum tentu bisa berlaku bagi orang lain. Jika dengan tiba-tiba seseorang tergerak untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu dengan penuh keyakinan, maka itulah dunia intuisi. Jika dilihat secara menyeluruh, sumber-sumber pengetahuan tersebut selaras benar dengan proses mendapatkan pengetahuan yang benar. Pada saat seseorang mengagumi sesuatu, ia cenderung menerima secara langsung pengetahuan yang diberikan oleh kepercayaan dan kesaksian orang lain. Tetapi, ketika seseorang mulai menggunakan alat indera untuk mendapatkan pengetahuan yang bersumber dari kedua tersebut. Ketika akal pikiran digunakan, maka seseorang telah meninggalkan keraguan dan sudah mulai memiliki perkiraan dan pendapat, yang boleh jadi merupakan kepastian. Kemudian, sumber intuisi juga merupakan pengetahuan yang meyakinkan yang mempunyai relevansi dengan keyakinan sebagai akibat dari pengetahuan yang pasti.[11]
Imam Ghazali menyebutkan dalam kitabnya mizanul ‘amal bahwa ada perbedaan antara term dua golongan. Kalangan ahli tasawuf dan lainnya. Bagi ahli pikir, seperti ahli linguistik, sejarah, dan pakar ilmu lahir lainnya, berpendapat bahwa adanya ilmu itu diambil dari pengalaman dan data-data empirik lainnya. Hal ini dimaksudkan bahwa adanya pengetahuan, sangat erat kaitannya dengan usaha dan kegigihan pencarinya. Perlu menelaah hasil pemikiran orang-orang terdahulu, menganalisa, dan mengadakan observasi baru sehingga menyimpulkan konklusi-konklusi yang diperkuat dengan beberapa argumentasi dan data-data empirik lainnya.[12]
Ahli Tasawuf menekankan riyadhoh (latihan kerohaniahan) dan sikap penataan hati. Menurut mereka, ilmu-ilmu Allah SWT akan ditransfer oleh-Nya kepada hamba-hamba yang sudah bersih dan baik sikap serta budi pekertinya. Lebih jauh, menurut al-Ghazali, pendapat ahli tasawuf itu bisa dirumuskan sebagai berikut:[13]
الطريق تقديم المجاهدة بمحو الصفات المذمومة وقطع العلائق كلها، والإقبال بكل الهمة على الله تعالى، ومهما حصل ذلك فاضت عليه الرحمة، وانكشف له سر الملكوت، وظهرت له الحقائق، وليس عليه إلا الاستعداد بالتصفية المجرّدة، وإحضار النية، مع الإرادة الصادقة والتعطش التام، والترصد بالانتظار لما يفتحه الله تعالى من الرحمة، إذ الأولياء والأنبياء انكشفت لهم الأمور، وسعدت نفوسهم بنيل كمالها الممكن لها، لا بالتعلم بل بالزهد في الدنيا والإعراض والتبرّي عن علائقها، والاقبال بكل الهمة على الله تعالى
“Caranya (mendapat ilmu) adalah dengan mendahulukan mujahadah (kegigihan) untuk menghapus sikap tercela dan memupuskan semua rintangan, serta menghadap kepada Allah dengan konsentrasi penuh. Jika itu berhasil, akan mengalir rahmat kepadanya, terungkap rahasia kekuasan-Nya, terang hakikat-hakikat untuknya, dan dia hanya butuh persiapan penyucian diri murni, fokus, serta tekad bulat dan benar-benar rindu serta mengintai dengan menunggu rahmat yang akan Allah bukakan kepadanya. Sebab, para auliya dan nabi terungkap oleh mereka beberapa hal dan jiwa mereka bahagia memperoleh kesempurnaan yang ditetapkan, bukan dengan belajar, namun dengan berzuhud dunia, berpaling, dan terlepas dari relasinya, serta menghadap penuh kepada Allah SWT”.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa dasar perbedaan antara dua kubu tersebut adalah dalam metode pencarian ilmu. Jika ahli tasawuf cukup dengan memperbaiki sikap dan berbuat ‘beda’ dari kebiasaan manusia, maka mazhab lainnya lebih menekankan pada belajar dan menguji kemampuan intelegensi. Jika ahli tasawuf mengandalkan kekuatan jiwa dan iluminasinya, maka mazhab lain berpendapat kekuatan akal yang lebih dominan. Al-Ghazali berpendapat bahwa untuk menentukan di antara dua metode itu, mana yang lebih utama? Relatif dan kondisional itulah jawabannya. Sebab, bagaimanapun juga orang mempunyai posisi dan kondisi yang berbeda. Bagi salik, dia lebih baik menggunakan metode ahli tasawuf. Dan bagi pengkaji ilmu-ilmu lahir, lebih baik mengikuti mazhab mereka.[14]
c.       Logika Statistika
Statistika merupakan bagian dari metode keilmuan yang dipergunakan dalam mendiskripsikan gejala dalam bentuk angka-angka, baik melalui hitungan maupun pengukuran. Dengan statistika kita dapat melakukakn pengujian dalam bidang keilmuan sehingga banyak masalah dan pernyataan keilmuan dapat diselesaikan secara faktual. Pengujian statistika adalah konsekuensi pengujian secara emperis. Karena pengujian statistika adalah suatu proses pengumpulan fakta yang relevan dengan rumusan hipotesis.
Artinya, jika hipotesis terdukung oleh fakta-fakta emperis, maka hipotesis itu diterima sebagai kebenaran. Sebaliknya, jika bertentangan hipotesis itu ditolak”. Maka, pengujian merupakan suatu proses yang diarahkan untuk mencapai simpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Dengan demikian berarti bahwa penarikan simpulan itu adalah berdasarkan logika induktif.[15]
3.      Fungsi Sarana Berpikir Ilmiah
Secara mudahnya, sarana berpikir ilmiah ini berfungsi untuk mengantarkan kita agar berpikir secara ilmiah. Sebab, berpikir yang tepat dan sistematis dibutuhkan alat yang mendukungnya. Pola deduksi misalnya, harus diimbangi dengan ilmu pasti yang disebut matematika. Begitu juga dengan pola induktif. Penelitian dari hal yang khusus untuk fenomena umum, atau masalah individual agar dibawa secara universal, membutuhkan peran ilmu statistika.
Ilmu ini bukan dimaksudkan hanya menghitung angka yang sulit dan menjenuhkan. Namun, lebih dari itu, statistika sebagaimana matematika, diarahkan sebagai nama disiplin ilmu yang akan mengukur, membatasi, dan merumuskan penelitian yang bersifat induktif ini. Namun bagaimanapun juga, tidak berarti ilmu ini terhindar dari salah. Sekalipun cara berpikir statistika ini benar dan sah, serta data yang diambil pijakan juga benar, masih ada peluang keliru juga pada kongklusi yang diambilnya.[16]
D.     Simpulan
Kesimpulan dari pembahasan di atas adalah sebagai berikut:
1.      Sarana berpikir ilmiah dimaksudkan pada alat yang membantu kita untuk melaksanakan aktivitas metodis dalam memperoleh pengetahuan.
2.      Sarana berpikir ilmiah dapat diklasifikasikan dalam tiga hal, bahasa, matematika dan logika, serta statistika.
3.      Bahasa dibutuhkan untuk membentuk kelurusan dalam berpikir. Begitu juga, bahasa yang tepat itu ditimbulkan oleh cara berpikir yang tepat pula. Inilah yang dimaksudkan dengan hubungan timbal-balik.
4.      Berdasarkan metodologi pengetahuan di antaranya berpola deduktif dan induktif, maka timbul sarana lain untuk mengantarkannya. Pola deduktif membutuhkan matematika (ilmu pasti). Sedangkan pola induktif memerlukan statistika.
5.      Meskipun tidak semua ilmu memerlukan statistika, namun statistika juga diperlukan untuk menghindari dari kerancuan dan tidak sistematika ilmu pengetahuan, yang mana hal itu akan menghilangkan ciri keilmiahannya.
6.      Kasyf termasuk sarana untuk berpikir ilmiah pula. Meskipun hal ini tidak semua dilaksanakan oleh setiap orang. Namun hal ini bisa diuji berdasarkan eksperimen religous dan bisa dilogikakan. Maka data dari hal ini juga disebut empirisme.

REFERENSI
Aa Den. 2008. Sarana Berpikir Ilmiah. Retrieved: Kamis 10/03/2011,by:http://aaden.blogspot.com/2008/05/sarana-berpikir-ilmiah.html
Al-Ghazali, Muhamad bin Muhamad. t.t. Mizan al-‘Amal. Maktabah: Syamilah.
Fathul Mufid. 2008. Filsafat Ilmu Islam. Kudus: Dipa STAIN Kudus.
Masdi. 2009. Logika. Kudus: Dipa STAIN Kudus.
Louis O. Kattsoff. 2004. Pengantar Filsafat Islam. Dialihbahasakan oleh Soejono Soemargono. Yogya: Tiara Wacana Yogya.
Romlah Gany. t.t. Sarana Berpikir Ilmiah. Retrieved 14/03/2011 by: romlahgany.files.wordpress.com/.../bahasa-sebagai-sarana-berpikir-ilmiah.doc
Suparlan Suharto. 2004. Dasar-Dasar Filsafat. Ar-Ruzz Media: Jogjakarta.
Sutarrdjo A. Wiramihardja. 2006. Pengantar Filsafat. Bandung: PT. Refika Aditama.
Zainul Milal Bizawie. 2008. Pondok Kajen Wetan Banon. Pati: Paguyuban Alumni Salafiyyah.


[1] Zainul Milal Bizawie. 2008. Pondok Kajen Wetan Banon. Pati: PAS. hlm. i.
[2] Kamus Ilmiah Populer dan bisa dilihat dalam; Romlah Gany. Sarana Berpikir Ilmiah. Retrieved 14/03/2011 by: romlahgany.files.wordpress.com/.../bahasa-sebagai-sarana-berpikir-ilmiah.doc
[3] Fathul Mufid. 2008. Filsafat Ilmu Islam. Kudus: Dipa STAIN Kudus. hlm. 3.
[4] Sutarrdjo A. Wiramihardja. 2006. Pengantar Filsafat. Bandung: PT. Refika Aditama. hlm. 24.
[5] Ibid.
[6] Fathul Mufid, Loc. Cit.
[7]Aa Den. 2008. Sarana Berpikir Ilmiah. Retrieved: Kamis 10/03/2011 by: http://aa-den.blogspot.com/2008/05/sarana-berpikir-ilmiah.html
[8] Masdi. 2009. Logika. Kudus: t.pn. hlm. 26.
[9] Louis O. Kattsoff. 2004. Pengantar Filsafat Islam. Dialihbahasakan oleh Soejono Soemargono. Yogya: Tiara Wacana Yogya. hlm. 41.
[10] Romlah Gany. Sarana Berpikir Ilmiah. Retrieved 14/03/2011 by: romlahgany.files.wordpress.com/.../bahasa-sebagai-sarana-berpikir-ilmiah.doc
[11] Suparlan Suharto. 2004. Dasar-Dasar Filsafat. Ar-Ruzz Media: Jogjakarta. hlm. 83-90.
[12] Al-Ghazali, Muhamad bin Muhamad. t.t. Mizan al-‘Amal. Maktabah: Syamilah. Vol. 1. Hlm. 14.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ramlah Ghani. Loc. Cit.
[16] Ramlah Ghani.Loc. Cit.

1 komentar:

Xafvie mengatakan...

gus, bahasamu saiki kok sangar, akeh si si ne, akeh if if e.
wes dolan neng blogku durung??

SMS GRATIS