lima pertanyaan untuk
disertasi dr. abdul djamil, ma.
Pendahuluan
disertasi dr. abdul djamil, ma.
Pendahuluan
Alhamdulillah, buku karya Dr. Abdul Djamil sudah lama kami baca dan ketika kami membaca disertasi Dr. Abdul Djamil tersebut untuk yang pertama kali, terlintas kami sempat bangga dengan hal itu. Kami mengira keterangan yang di ambil dan bukti-bukti yang di paparkan beliau begitu akurat dan benar-benar signifikan, namun setelah mata kami sempat melirik beberapa pemvonisan dan pernyataannya di berbagai tempat yang begitu jelas (yang Insya Allah akan kami ke tengahkan dalam uraian dan tanggapan kami), kami sempat tertegun dan bingung kelanjutannya. Yang kami risaukan dan belum kami temukan jawabnya, apakah Dr. Abdul Djamil ini pro dengan pemikiran Syaikhina KH. Ahmad Rifa'i atau bahkan sebaliknya yaitu kontra dan tidak sependapat dengan beliau.
Saat kami mencoba untuk menyimpulkan bahwa beliau adalah termasuk pembela dan Al-Musallimuna Ilaih (mengakui kapasius pemikiran Syaikhina dalam menghadapi tantangan zamannya), kenyataan berbeda lain, karena (seperti yang akan kami sebutkan nanti), Dr. Djamil sering mengklaim dan memvonis tipe pemikiran syaikhina untuk di samakan dengan golongan-golongan yang tidak mempunyai kredibilitas dalam menentukan tuntunan dalam agama islam yang bersifat rahmatan lli 'alamin ini.
Namun di sisi lain, kalau kami mencoba untuk mengatakan bahwa beliau adalah kontra dan tidak setuju dengan beliau, maka kami pasti akan di sebut terlalu cepat memutuskan keadaan dan kurang bijaksana serta ceroboh, karena para sesepuh Rifa'iyyah ada yang setuju bahkan menganggap disertasinya itu memuji-muji Syaikhina.
Atas dasar kebimbangan kami itu, kami mencoba untuk memberanikan diri untuk memahami dan bertanya lebih lanjut pada beliau untuk menanggapi keragu-raguan dan tidak puasnya batin kami. Kami mengakui ini bukanlah sebuah tandingan atau kritikan kepada beliau, karena kami sadar bahwa coretan kecil ini jauh dari keabsahan atau bukti referensi yang kuat, sebab telah kami sebutkan bahwa maksud kami hanyalah ingin mengetahui dan menjawab kebimbangan hati kami.
Sekali lagi, bukan maksud kami membuat atau meragukan keabsahan disertasi beliau, tapi kami hanyalah pelajar yang mencoba untuk mengetahui masalah dengan benar-benar otentik.
Sekian mukadimah dari kami, dan akhirnya atas semua jawaban yang beliau berikan, kami haturkan banyak terima kasih. Dan apabila ada kesalahan dalam catatan kecil ini kami meminta maaf, lebih-lebih kepada beliau Dr. Abdul Djamil dan sesepuh yang terlibat.
Penulis
1. Tentang serat Cabolek hal : 58 – 59.
Kutipan :
Dari kalangan ulama dapat di lihat pada perdebatan antara haji pinang dengan Kiai Rifa'i perihal tiga masalah yakni jum'atan (baca: shalat Jum'at) di masjid besar, pernikahan, dan rukun islam. Perdebatan itu akhirnya di menangkan oleh Haji Pinang dan Kiai Rifa'i di permalukan di depan umum serta menyesali pandangan – pandangan yang pernah di kemukakan sebelumnya. Kondisi ini dilukiskan ketika salah seorang teman Haji Pinang bernama Syaikh Yusuf bertanya kepada Kiai Rifa'i sebagai berikut :
Paham ndiko puniko pas sisip
Atobata gupoh ing Pangeran
Aja nganggo maneh
Kaji Pinang wecanane wengis
Lah Kaji Ripangi, kepriye karepmu
Apa nrime ing luputireki
Maturo yen yektos
Artinya :
Pahammu itu ternyata keliru
Bertobatlah kamu cepat – cepat kepada Allah
Dan jangan kau pakai lagi pahammu itu
Haji Pinang berkata dengan bengis :
Nah, hai Haji Ripangi, apa maumu?
Mendengar pertanyaan ini Kiai Rifa'i menjawab :
Amba manut ugi
Ing kitab kang luhung
Lawan anut ing para ngulami
Kula nut sapakon 1
Artinya :
Saya menerima bahwa saya salah
Hamba juga mengikuti kitab yang luhur
Dan hamba mengikuti juga para ulama
Hamba mengikuti segala perintah.
Pertanyaan kami :
Sebelumnya kami minta ma'af kalau memang tulisan kami ini kurang dari kesopanan dan aturan diskusi ilmiah, karena kami akui kami hanyalah pelajar yang benar – benar ingin mencari keabsahan dan keotentikan berita yang kami terima ini, sekali lagi kami minta beribu-ribu ma'af terutama kepada beliau Dr. Abdul Djamil sebagai peneliti ilmiah ini.
a. Amanat 'Ilmiah
yang ingin kami tanyakan di sini, kenapa beliau Dr. Djamil tidak memberikan keterangan lebih lanjut tentang sebab – sebab mengapa syaikhina Ahmad Rifa'i sampai mengakui kesalahannya dan apakah bukti serat cabolek itu memang benar - benar di nisbatkan oleh pengakuan syaikhina? Masalahnya kalau hal itu ternyata bukan bukti yang akurat (dalam arti bukan pengakuan sebenarnya oleh syaikhina, tapi karena ada oknum tertentu yang mengatas namakan syaikhina) kenapa di paparkan di situ? ada misi apa di balik semua ini? Bahkan sebaliknya, kalau ternyata itu memang benar – benar pengakuan syaikhina, lalu pemaparan di situ malah akan membuat turunnya reputasi kami, sebab bila memang beliau sudah mengakui kesalahannya, buat apa kita meski rame – rame dan bersikukuh dengan mencari dalil, hujjah serta argumentasi untuk mempertahankan pendapat beliau? Bukankah pemaparan dengan metode di atas (tanpa ada keterangan yang lebih lanjut) akan mengundang sejuta isykalan (kritikan) yang akan di lontarkan kepada kami? Lalu kalau memang statement tersebut benar – benar fakta kami disuruh untuk jawab apa? Bukankah ini namanya penikaman dari belakang untuk kami? Oleh karena itu kami memohon kepada beliau Dr. Abdul Djamil untuk menguraikan masalah ini dengan sangat detail. Masalahnya menurut kami, mengenai manuskrip yang beliau kutip itu ada beberapa kemungkinan :
- Soal pengakuan beliau (Syaikhina) tentang hal itu, mungkin karena beliau terdesak dengan pemerintah Belanda yang begitu kejam saat itu, lalu beliau di paksa untuk mengakui kesalahan dan kekalahannya saat berdebat dengan H. Pinang , sehingga dengan segala keterpaksaan beliau mengakui semuanya, dan kemudian di nyatakan oleh Belanda kekalahan beliau serta kemenangan H. Pinang tersebut. Kalau kenyataan seperti ini, maka untuk apa kita paparkan manuskrip peninggalan mereka? Sementara dalam aturan agama yang kita miliki (Islam) tidak memberikan pengesahan hukum pada orang yang mukroh, bukan? Seperti contoh : orang disuruh dan di paksa untuk mengakui zina, itu tidak akan memberikan pengaruh sama sekali atas perajaman seratus kali untuk orang tersebut jika ghoiru muhson2, sekalipun ia telah mengakui perbuatan zinanya dengan di paksa. Itu baru masalah zina yang hukumnya sudah qot'i Ad-dilalah (sudah jelas) dan mujma' Alaih (di sepakati oleh para 'Ulama'). Lalu bagaimana dengan masalah ini (rukun islam)?, di mana sifatnya masih dzonni Ad-dilalah (belum jelas) yang mempunyai dampak adanya peluang ijtihad, di mana orang ijtihad itu masih belum dipastikan kesalahannya, bahkan ini mestinya di anggap ma yuhtalaf fihi ( belum konsensus antar 'Ulama') di mana memberikan petunjuk pelarangan inkar (tidak setuju).
sebagai mana acuan fuqoha' :
لاينكر المختلف فيه وانما ينكر المجمع عليه 3
( Yang boleh di ingkari itu yang Ijma' bukan Al-Muhtalaf Fih )
D i m a n a p e m a p a r a n d e n g a n m e t o d e d i a t a s
i t u a k a n m e n i m b u l k a n w u j u d n y a i n k a r .
2. Mengenai isi serat cabolek itu kemungkinan hanyalah pembuatan orang-orang tertentu yang pro dengan Belanda (bukan serat tangan beliau) yang intinya ingin menjatuhkan serta mengusir Syaikhina dari wilayah kekuasaannya karena telah di anggap merisaukan serta meresahkan kolonial Belanda. Dan kalau ternyata seperti ini, maka tidak di anggap akuratlah bukti serta dalih dari serat tersebut.
Sementara di lain pihak, dengan mengacu kaidah :
وقائع الاحوال اذا تطرق البها الاحتمال كساها ثوب الاجمال وسقط بها الاستدلال 4
( Ketika beberapa kenyataan perkara itu ada kemungkinan kemungkinan yang belum jelas maka di anggap Ijmal
dan tidak boleh di buat Hujjah)
ini menuntut serat cabolek untuk tidak di paparkan sebagai referensi selama – lamanya.
b. Serat Cabolek
menurut keterangan yang baru kami terima (menurut kami merupakan sumber yang dapat di percaya)5 : Isi serat Cabolek itu buatan orang – orang yang pro Belanda saat itu, dalam arti bukan tulisan tangan Syaikhina Ahmad Rifa'i, dengan bukti di dalam serat cabolek itu ada keterangan tentang pemvonisan jelek kepada Mbah Mutamakkin Kajen Pati,6 apakah mungkin ini dari serat beliau?
A h i r o n k a m i m i n t a k e t e r a n g a n
s e l e n g k a p – l e n g k a p n y a k e p a d a D r. D j a m i l.
c. Tentang Terjemah Serat Cabolek
Sebelumnya, bukan maksud kami tidak percaya akan keilmuan Dr. Abdul Djamil, tapi demi disiplin Ilmiah kami memberanikan diri untuk bertanya : Dari mana anda mendapatkan terjemah :
Amba manut ugi itu : Saya menerima bahwa saya salah.
Di mana menurut kami ini ada beberapa kemungkinan :
1. Anda mengartikannya dengan (ma'af) pengetahuan anda sendiri, Kalau memang seperti ini, yang menjadi kejanggalan kami, kata – kata bahwa saya salah itu arti dari lafaz apa? Karena menurut hemat kami arti kata – kata Amba manut ugi itu hanyalah Aku juga ikut, tanpa ada embel – embel : menerima bahwa saya salah (kalau tidak, mohon dijelaskan sedetail – detailnya, mengenai literatur bahasa terjemah) , lalu apa di balik semua ini? Mengapa anda meski mengartikannya dengan : Saya menerima bahwa saya salah, yaitu dengan menambah kata – kata saya salah, yang dapat memberikan kesan pengakuan salahnya syaikhina dengan ceplos? Apa tujuannya? Masalahnya, apabila hanya di terjemahkan dengan bahasa : Aku juga ikut (sesuai hemat kami tadi) tanpa ada imbuhan segala, mungkin kekuatan isykal (kritik) untuk kami akan lebih menipis di bandingkan dengan terjemah bebas anda. Soalnya kata – kata aku juga ikut, itu tidak sampai merobohkan dari akar semua pandangan yang di lontarkan oleh syaikhina (misal : Rukun islam satu), beda dengan bahasa : Saya menerima bahwa saya salah, itu berkekuatan besar atas timbulnya anggapan di atas, yang dampaknya itu menunjukkan robohnya akar semua pandangan yang di lontarkan oleh Syaikhina KH. Ahmad Rifa'i. Memang kami mengakui, lazim dari kata – kata : Amba manut ugi, yang menunjukkan kesetujuan beliau, itu : Saya menerima bahwa saya salah, tapi ada dasar kaidah yang diperoleh di dalam ilmu tauhid yang berbunyi :
لازم المذهب ليس بمذهب 7
( Konsekuensi pendapat (mazhab) itu bukanlah mazhab pula),
Sebagai contohnya, ulama memaparkan sebuah golongan yang mereka sebut mujassimah , sekalipun golongan ini mengatakan Allah SWT itu jisim, di mana akibatnya adalah pemvonisan atas hudusnya Allah SWT yang mengakibatkan kekafiran, tapi karena hal ini (hudus) itu hanya berupa akibat tidak pendapat ceplos mereka , maka para Ulama tidak sampai mengklaim tentang kekafiran mereka.8 Mestinya kalau kita berbicara 'Ilmiah kita juga harus mengakui hal ini, karena ada kemungkinan setujunya Syaikhina itu hanya bersifat sementara tidak abadi (taqiyyah, seperti yang Dr. Djamil sebutkan),9 yaitu sebab beliau terdesak dan di paksa oleh kolonial Belanda pada waktu itu, atau ada unsur yang lain.
2. Anda mengartikan dengan bimbingan sumber yang dapat di percaya, kalau memang seperti ini, apakah layak kalau tidak menjelaskan referensinya? Lalu apa tujuan dari ini semua? Serta bagaimana menurut beliau (sumber tadi) tentang tanggapan kami?
S y u k r o n l a k 'a s a A l l a h S W T
a n y u j z i y a k h a i r a b i m a f a ' a l t.
2. Tentang Politis Rifa'iyyah hlm : 90
Kutipan :
Peristiwa di atas (peristiwa meduri) memiliki muatan politis sebab dalam perkembangan selanjutnya Rifa'iyyah memiliki hubungan akrab dengan Muhammadiyah walaupun secara ideologis bertentangan dan sebaliknya, dengan Nahdhatul Ulama justru renggang dan bahkan tanda anggota NU yang di miliki oleh warga Rifa'iyyah di wilayah Tirta di kembalikan kepada pengurus NU setempat.
Pertanyaan kami :
- Di sini kami hanya ingin mengutarakan isi hati Kami
yang bertanya – tanya : mengapa dengan mudahnya Dr. Djamil mengklaim berdasarkan peristiwa tersebut tentang politis yang di hubungkan dengan Rifa'iyyah , hanya dengan alasan Muhammadiyah tidak setuju atas keputusan pembubaran organisasi Rifa'iyyah? Dan bahkan beliau pun mengurutkan kejadian dengan kelanjutan Rifa'iyyah yang memiliki hubungan akrab dengan Muhammadiyah tersebut ?
Kami teringat , dulu Rasulullah SAW juga pernah musyawarah dengan sahabat Abu Bakar dan 'Umar ra. Tentang hasil tawanan perang yang di dapatkan dalam pertempuran di perang badar kubra, di mana menurut pendapat Abu Bakar menyatakan : sebaiknya tawanan – tawanan itu di lepaskan dan di mintai ganti dengan tebusan alat perang agar persenjataan umat islam lebih komplit , tapi sebaliknya, di lain dugaan, sahabat 'Umar ra. berpendapat agar tawanan – tawanan itu di bunuh saja, karena khawatir mereka akan mengulangi perbuatan mereka, yaitu bersatu padu melawan umat islam lagi, sebab mereka adalah para dedengkot kafir Quraisy yang sangat gagah – gagah. Dan pada akhirnya Rasul pun menyetujui pendapat sahabat Abu Bakar ra. Namun setelah itu turunlah wahyu yang membela pendapat sahabat 'Umar ra. 10
Nah dari sejarah di atas , apakah dapat di ambil kesimpulan bahwa dalam kejadian tersebut ada muatan politis antara nabi dan orang – orang kafir Quraisy, dengan alasan nabi tidak menyetujui pendapat sahabat 'Umar untuk membunuh mereka? Apalagi sampai berhubungan erat dengan mereka? Sedang nabikan ma'sum (terjaga) imannya? Apakah ini Ilmiah? Kan ada kemungkinan nabi tidak setuju karena beliau ingat tentang kemaslahatan dan tugas awal beliau yaitu sekedar Tabsyir dan Indzar saja, serta firman Allah SWT :
ولو كـنت فـظا غـليظ القـلب لا انفـضوا من حولك 11
Maksud kami, kan juga ada kemungkinan Muhammadiyah tidak setuju ke putusan tersebut bukan karena adanya muatan politis tapi karena ada unsur lain, semisal : menghormati keyakinan orang lain, asal keyakinan itu tidak berlawanan dengan aturan hukum syarak, dan kemungkinan menurut mereka (Muhammadiyah) kami tidak berlawanan dengan hukum syarak, oleh karena itu mereka tidak setuju tentang ke putusan tersebut. Mengenai pengklaiman Dr. Djamil bahwa Rifa'iyyah ada hubungan erat dengan Muhammadiyah akan kami tanyakan berikutnya Insya Allah SWT.
2. Pertanyaan kami : mengapa pengklaiman hubungan erat, yang di lakukan beliau itu bersifat umum? Tanpa memerinci orang-orang yang terlibat dalam hubungan tersebut? atau setidaknya beliau memvonis tapi dengan sebagian , misalnya dengan menyebut : Peristiwa di atas (peristiwa meduri) memiliki muatan politis sebab dalam perkembangan selanjutnya Sebagian Aliran Rifa'iyyah memiliki hubungan akrab dengan Muhammadiyah, bukannya harus di klaim secara global. Sebab kalau kita melihat realita, lebih banyak golongan Rifa'iyyah dari beberapa sesepuh dan masyayih itu tidak pernah terlibat dalam hubungan akrab tersebut, lalu mengapa kami di klaim seperti itu? Yang dapat memberikan anggapan kemiripan tingkah laku kami dengan Muhammadiyah, sekalipun beda dalam ideologinya?
3. Lagian yang membingungkan pemikiran kami adalah sistem politik Muhammadiyah yang di paparkan Dr. Djamil, karena menurut beliau Muhammadiyah itu ada hubungan politik dengan warga Rifa'iyyah, Hal ini di tunjukkan dengan kata – katanya : " Peristiwa di atas (peristiwa meduri) memiliki muatan politis, sebab dalam perkembangan selanjutnya Rifa'iyyah memiliki hubungan akrab dengan Muhammadiyah". Sebab kalau tidak dengan Muhammadiyah, lalu dengan siapakah muatan politis itu terjadi? Padahal menurut pemaparan Drs. Haedar Nashir, beliau menyebutkan : Di kalangan Muhammadiyah sebagaimana kesan umum yang dapat di tangkap dalam masyarakat, istilah politik lebih banyak merujuk pada pengertian politik secara khusus.12 Di mana sebelumnya beliau mengklasifikasikan politik pada dua bagian: Pertama, politik dalam cakupan yang lebih khusus berkaitan dengan berbagai kegiatan yang menyangkut pemerintahan atau urusan negara dalam bermacam – macam aspeknya. Kedua, politik dalam cakupan yang lebih luas menyangkut berbagai kegiatan individu atau kelompok dalam masyarakat berkenaan dengan alokasi nilai – nilai yang di pandang berharga, termasuk di dalamnya alokasi nilai dalam kekuasaan sosial di masyarakat.13 Nah dari penjelasan Drs. Haedar Nashir ini, bukankah ada kontradiksi dengan pendapat Dr. Abdul Djamil? Sebab Menurut Drs. Haedar Nashir orientasi politik Muhammadiyah umumnya pada aspek khusus, sementara dari Dr. Abdul Djamil itu berorientasi pada aspek luas. Hal ini kami simpulkan dari keterangan beliau bahwa : ada muatan politis dengan Muhammadiyah, kebalikannya : Muhammadiyah ada politik dengan Rifa'iyah, berarti itu adalah politik yang kedua, yaitu yang lebih luas (sebab hubungannya dengan individu Rifa'iyah dengan membela warga tersebut, tidak pemerintah, karena ini hanya terjadi antar organisasi NU dan Rifa'iyah), bukan yang pertama yaitu khusus, lalu dari kedua pendapat itu manakah yang lebih benar? Dan apa tendensi masing – masing ? Kalau tidak punya bukti lain yang lebih akurat apakah ini penelitian ilmiah namanya? Kalau hanya dengan bukti asumsi (muatan dari kejadian di atas), dan sementara ada kemungkinan – kemungkinan lain di dalamnya, yang menyebabkan tidak dapat di gunakan hujjah dalil itu sebagaimana kaidah yang di paparkan Ulama yaitu :
والدليل اذا تطرق فيه الاحتمال سقط منه الاستدلال 14
( Ketika dalil itu ada kemungkinan – kemungkinan yang
belum jelas maka tidak boleh di buat Hujjah),
Apakah ini masih layak untuk di terima?
Kalau ada jawaban : Sebenarnya tidak ada kontra antar keduanya, Cuma beda tinjauan saja, kalau Drs. Haedar itu memandang ghalibnya, sedang Dr. Djamil itu memandang muatan peristiwa itu, maka kami pun balik bertanya : Dari mana pengklaiman politik khusus itu sifatnya umum, oleh Drs. Haedar? Dan kalau itu sudah akurat, mestinya kita mengamalkan perkara yang umum dulu, kalau nanti kita terpaksa meninggalkan umum maka harus ada alasan peninggalannya, yaitu dengan menggunakan dan memaparkan argumentasi tertentu yang menuntut untuk meninggalkan hal umum tadi, seperti pada kasus lafaz yang umum , kalau mau di gunakan untuk kejadian yang khusus, maka harus ada dalil tertentu, karena dia termasuk dzohir,15 di mana untuk mengarahkan maknanya kepada al-muhtamil al-marjuh (yang tidak dzohir) harus ada dalil tertentu.16 lalu apa argumen Dr. Djamil tentang pengarahan politik itu? Bukankah kita juga tertuntut untuk menggunakan dalih yang bersandar pada 'adat / khalayak umum dulu , sebagaimana acuan kaidah :
العادة محكــمة17
( 'Adat itu bisa di gunakan untuk membuat hukum ) ?.
4. Dan lagi yang menjanggalkan hati kami adalah metode pengklaiman beliau hampir sama dengan metode pengklaiman ala orientalis barat terhadap Islam, yaitu dengan mengatakan : Islam itu teroris 18, padahal hanya karena sebagian umat Islam ada yang bertindak keras, lalu mereka bilang Islam itu teroris, tidak mau mengatakan : Sebagian umat islam itu ada yang teroris, masalahnya kalau Islam sendiri, itu adalah : Agama yang mengajarkan damai tidak ada kekerasan di dalamnya, Begitu juga dengan Dr. Abdul Djamil, kenapa beliau langsung memvonis bahwa: Rifa'iyyah memiliki hubungan akrab dengan Muhammadiyah, padahal yang melakukannya mungkin hanya sekelompok kecil. Kalau orientalis terhadap islam itu sudah jelas misi mereka, yaitu ingin merobohkan islam dan umatnya, tapi apa misi dari Dr. Djamil dengan metode pengklaimannya itu?
M o h o n p e n j e l a s a n n y a.
3. Pemikiran Syaikhina KH. Ahmad Rifa'i Berkarekteristik Khawarij ,
hlm : 222
Kutipan :
Sosok 'Alim 'Adil tersebut dijadikan sebagai alat untuk menciptakan jarak antara komunitas yang di bangunnya dengan penguasa beserta jajarannya. Implikasi yang di timbulkannya adalah munculnya kesan eksklusif karena ideologi 'Alim 'Adil pada kelompok Rifa'iyah berlanjut hingga masa – masa setelah wafatnya Rifa'i. 19 Tipe pemikiran seperti ini memiliki karakteristik dengan kelompok Khawarij dalam hal menciptakan isolasi dengan kelompok lain melalui interpretasi ajaran. Jika Khawarij menggunakan isu dosa besar, maka Rifa'i menggunakan kriteria 'Alim 'Adil. 20
Pertanyaan kami :
1. Entah apa maksud beliau memaparkan pendapatnya tentang metode pemikiran Syaikhina yang menurutnya berkarakter khawarij ini? Berbicara fakta, atau opini yang memojokkan metode pemikiran Syaikhina? Tetapi yang jelas menurut kami, pemaparan tersebut dapat memberikan anggapan tidak absah pendapat beliau, bagaimana tidak? Siapa yang tidak tahu kaum khawarij yang be seberangan dengan Ahlussunnah Wal Jama'ah ini? 21 Baik dalam ideologi maupun 'amaliyyah sehari – hari , bahkan Rasul pun telah memberikan prediksi akan timbulnya beberapa pecahan golongan yang mengatas namakan islam, yang kesemuannya itu masuk neraka (sesat), kecuali satu golongan yang masih selamat22, di mana oleh para Ulama di tafsirkan kan dengan Golongan Ahlussunnah Wal Jamaah,23 konsekuensinya yang lain itu di nilai sesat. Lalu siapa yang mau dikatakan berwatak dengan orang sesat, sekalipun hanya dalam tipe pemikiran saja? Kalau hanya kemiripan pendapat itu mungkin ada sedikit toleran dari kami, tapi kalau sudah di vonis berkarekteristik ini sangat memojokkan kami, bagaimana tidak? karakter itu adalah merupakan sesuatu yang bersifat tetap,24 dan sangat sulit untuk di rubah (sifat bawaan)25, sedangkan mengenai metode pemikiran syaikhina itu bukanlah sifat bawaan , melainkan iktisabi (dengan usaha), yaitu dengan melihat situasi dan kondisi tertentu tidak bersifat tetap, karena asal mula pemikiran 'Alim 'Adil itu bertujuan untuk menciptakan jarak antara komunitas yang di bangunnya dengan penguasa beserta jajarannya (sebagai mana yang anda sebutkan), itu saja, tidak lebih. Lalu kenapa harus di klaim berkarekteristik segala.
Sebagai contohnya ; Dulu, ketika Rasululullah SAW bermusyawarah dengan warga Madinah mengenai peperangan Uhud, yaitu saat beliau mendengar kabar bahwa kafir–kafir Quraisy Mekkah akan menyerbu tentara Madinah sebagai balasan atas kekalahan mereka di pertempuran Badar Kubra, beliau meminta pendapat para sahabat , mana yang lebih baik? Menetap di Madinah dengan menunggu dan bersiap – siap melawan mereka dengan mengatur strategi, atau keluar dari Madinah ke gunung Uhud untuk segera membuat taktik perang di sana? Di mana dari kalangan sahabat ada perbedaan pendapat, dari Kubu Tua menganjurkan ide Nabi yang pertama (menetap), tapi sebaliknya dari Kubu Muda ( lebih –lebih yang tidak mengikuti pertempuran di Badar Kubra dulu ), dengan semangat darah mudanya, mereka memilih untuk menjalankan ide kedua Nabi. Pada akhirnya Nabi pun mengikuti pilihan dari Kubu Muda, kemudian beliau masuk ke kamar beliau , mengambil pakaian perang dan memakainya, sementara melihat tiba-tiba Nabi telah siap dengan pakaian perangnya, dari Kubu Muda merasa mereka telah memaksa Nabi untuk mengikuti pilihan mereka, akhirnya mereka menganjurkan pada Nabi agar jangan terlalu memaksakan diri untuk mengikuti pilihan mereka, namun apa jawaban Nabi , tanpa di duga beliau malah bersabda : " Tiada pantas bagi Nabi, ketika sudah terlanjur memakai seragam perangnya, untuk mencopotnya lagi kecuali sampai Allah memberi keputusan antara dia dan musuh-musuhnya. " 26
Dari Sirah Nabawiyyah di atas , apakah dengan mudah ada yang berani memvonis bahwa pemikiran Nabi itu berkarekteristik keras kepala seperti Raja Fir'aun? Hanya dengan alasan tidak menerima anjuran dari Kubu Muda tadi? Apakah Ilmiah ini namanya? Kan ada kemungkinan Nabi tidak menerima anjuran itu karena sebagai bahan penyemangat agar kobaran api jihad yang ada di dalam tubuh mereka itu membara? Bukankah ini malah lebih baik? Atau mungkin hal itu sengaja di lakukan Nabi untuk menunjukkan sifat pemberani Beliau yang memang semestinya di miliki oleh pemimpin seperti Beliau? Bukankah ini juga sebagai spirit bagi para pejuang islam tempo dulu? Buktinya para sahabat sudah sepakat atas pengakuan mereka bahwa Nabi adalah orang yang paling lunak hatinya, Al – Qur'an sendiri telah memberikan legitimasi konsensus mereka dengan Firmannya:
فـبما رحمة من الله لنت لهم ولو كــنت فـظا غـليظ القـلب لا انفـضوا من حولك
فاعف عنهم واستغفر لهم وشاورهم في الامر فاذا عزمت فتوكل على الله
27 > ان الله يحب المتوكلين
" Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu28. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya". |
Bahkan Nabi pun mau menerima alasan dari para sahabatnya.29 Jadi, Nabi tidak mengikuti anjuran sahabat pada waktu itu bukan karena keras kepala seperti Fir'aun, tapi karena melihat situasi dan kondisi saat itu.
Begitu juga dengan Syaikhina, kemungkinan beliau menerapkan kata-kata "Alim 'Adil pada waktu itu hanya sebagai alat untuk menciptakan jarak antara komunitas yang di bangunnya dengan penguasa beserta jajarannya (seperti yang anda sebutkan), di mana penguasa waktu itu terkenal sangat bengis dan selalu medzalimi rakyat, bukankah itu pandangan yang baik? Karena memutuskan hukum sesuai dengan konteks yang ada, seperti Nabi pada peristiwa tadi, dalam arti, hal itu tidak menjadi karakter tipe pemikiran beliau. Kalau pendekatan pemikiran seperti ini tidak di terima dengan alasan bahwa : Belum tentu KH. Rifa'i mengeluarkan pemikirannya dengan metode tersebut (melihat konteks), maka kami akan katakan bahwa : Belum tentu pula itu merupakan karakteristik dari tipe pemikiran beliau, lalu kenapa anda sampai memvonis bahwa : Tipe pemikiran seperti ini memiliki karakteristik dengan kelompok Khawarij dalam hal menciptakan isolasi dengan kelompok lain melalui interpretasi ajaran?
2. Mengapa titel kesan eksklusif, yang beliau sandangkan pada implikasi yang di timbulkan dari pemikiran sosok 'Alim 'Adil itu di sangkut pautkan dengan tipe pemikiran yang berkarakter pemikiran Khawarij menurutnya? Apakah hanya dengan alasan adanya titik persamaan yaitu di dalam hal menciptakan isolasi dengan kelompok lain, beliau mengklaim adanya karakter itu? Bahkan mengapa untuk menggambarkan sikap eksklusif ini, beliau mencontohkan dengan pembesar mu'tazilah (Wasil bin Ata') atau Al-Hallaj dalam bidang tasawuf?30 Bukankah ini pemojokan pada beliau namanya? Bagaimana tidak? Bukankah sikap eksklusif itu juga pernah di lakukan oleh aliran dari ajaran-ajaran lain, yang sifatnya baru berkembang? Bahkan kalau kami mengacu dari kata-kata beliau, yaitu : " Sebagaimana lazimnya tipe organisasi yang eksklusif selalu muncul dari adanya pandangan yang berbeda dari kebanyakan umat ", maka boleh jadi, beliau berani memvonis ajaran yang di bawa Nabi itu juga eksklusif, karena bukankah awal mula kedatangan risalah yang di bawa Nabi itu mempunyai pandangan yang berbeda dari kebanyakan umat? Sebagaimana legitimasi yang beliau berikan :
بدأ الدين غريبا وسيعود غريبا فطوبى للغرباء31
(Awal mula Agama itu di mulai dengan keasingan, dan nanti akan kembali asing lagi, (karena itu) sangat untung bagi orang-orang yang asing)
Lalu apakah berani beliau mengatakan : Tipe pandangan seperti ini (ajaran islam) itu memiliki kemiripan karakteristik dengan kelompok Khawarij dalam hal menciptakan isolasi dengan kelompok lain melalui interpretasi ajaran?
Karena pada dasarnya menciptakan isolasi dengan kelompok lain melalui interpretasi ajaran, itu menurut kami dapat di kelompokkan pada dua bagian :
- Menciptakan isolasi dengan kelompok lain melalui interpretasi ajaran, dengan tujuan yang benar dan bertendensi pada hal yang benar pula, sebagai mana yang di lakukan oleh Nabi SAW. Di mana beliau menciptakan isolasi itu demi menyelamatkan akidah dan amaliyyah kaum jahiliyah tempo dulu, Dan bagian pertama ini sangat baik bahkan harus untuk di jalankan serta di ciptakan oleh individu yang di anggap kompeten mengenai hal tertentu. Seperti yang di tegaskan dalam Al-Qur'an:
32 وان تطع اكثر من في الارض يضلوك عن سبيل الله
> ان يتبعـون الا الظن وان هم الا يخرصون
|
|
Tuntunan ini juga pernah dilaksanakan oleh imam Abu Hasan Asy 'Ary ra.33 Di mana beliau keluar dari keyakinan para kebanyakan umat yang saat itu mengikuti paham mu'tazilah, dan menciptakan paham baru yang terkenal dengan Ahlussunnah Wal Jamaah.
- Menciptakan isolasi dengan kelompok lain melalui interpretasi ajaran, dengan tujuan yang keliru dan bertendensi pada hal yang salah pula, sebagai mana yang di lakukan oleh kaum khawarij, murjiah, dan aliran syi'ah serta aliran-aliran sesat lainnya.
Adapun untuk mengetahui perbedaan antara kelompok pertama dan kedua, maka kita perlu merujuk pada pernyataan Nabi SAW :
وستفترق هذه الامة على ثلاث وسبعين فرقة كلها في النار الا واحدة قلنا من هي
يا رسول الله ؟ قال من كان على مثل ما انا عليه اليوم واصحابي
(Dan di tafsiri dengan Ahlissunnah Wal Jama'ah) 34
Jadi sekalipun sama-sama ada muatan isolasi, tapi ada perbedaan menonjol antar keduanya. Lalu mengapa Dr. Djamil mengklaim bahwa : " Tipe pemikiran seperti ini memiliki karakteristik dengan kelompok Khawarij dalam hal menciptakan isolasi dengan kelompok lain melalui interpretasi ajaran." ? Sementara ada perbedaan jelas (baik ideologi atau 'amaliyah)35 antara KH. Ahmad Rifa'i dengan Khawarij, Kenapa beliau tidak menyamakan pemikiran Syaikhina dengan awal mula perkembangan Islam saja? Atau dengan pemikiran Abu al-Hasan tadi? Ada apa di balik semua ini? Berbicara fakta atau pemojokan? Bukankah pemikiran Syaikhina lebih mirip dengan kelompok awal, di banding dengan kelompok yang ke dua tadi? Soalnya kalau melihat acuan yang di paparkan Dr. Djamil bahwa : " Sosok 'Alim 'Adil tersebut dijadikan sebagai alat untuk menciptakan jarak antara komunitas yang di bangunnya dengan penguasa beserta jajarannya ", Bukankah itu lebih mengarah ke yang pertama? Sebab, kalau kita mau melihat realita yang ada pada waktu dulu, di mana para penguasa dan pembesar itu di penuhi dengan kelaliman dan kekerasan, sebagai mana yang beliau kutipkan, 36 maka pantaslah kalau Syaikhina mengeluarkan pernyataan seperti di atas, dengan berlandaskan sabda Nabi yang berbunyi :
من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فان لم يستطع فبلسانه
فان لم يستطع فبقلبه وذلك اضعف الايمان 37
Di mana Syaikhina telah mengakui hanya bisa menjalankan tingkatan yang ke tiga, sebagai mana yang telah di kutipkan Dr. Djamil. 38
Apakah menjalankan pendapat yang berlandaskan pada hal yang absah dan benar itu masih berkarakter seperti khawarij yang tiada jelas tendensinya, atau jelas tapi kurang akurat itu?
M o h o n d i t e r a n g k a n l e b i h l a n j u t.
3. Lagi-lagi beliau memaparkan serat cabolek sebagai referensi, wong yang nomor satu tadi kami masih meragukan keabsahan serat cabolek kok, apalagi sampai yang pembahasan di sini. Soalnya mungkin saja pembuatan serat itu di dasari dengan politik, tidak ilmiah , dalam arti langsung model pemvonisan saja tanpa di periksa lebih lama. Tapi entahlah Allah lah yang lebih tahu tentang hal ini semua. Semoga Allah cepat-cepat mengungkap keberadaan serat cabolek itu.
A m i n A m i n Y a R a b b a l ' A l a m i n .
4. Pemikiran Syaikhina H. Ahmad Rifa'i Mirip Murji'ah, hlm : 223
Kutipan :
Pemikiran tentang rukun islam satu memiliki kemiripan karakteristik dengan kalangan murji'ah, di lihat dalam konteks keutuhan status keislaman seseorang yang melakukan perbuatan dosa besar39. Demikian pula pandangannya mengenai pernikahan yang mengesankan adanya keharusan untuk di ulang (tajdid al-nikah) mencerminkan kritiknya kepada pejabat agama yang dinilai tidak memenuhi persyaratan untuk bertindak sebagai petugas pernikahan seperti saksi nikah.
Pertanyaan kami :
Kami tidak habis pikir, Bukankah akan lebih bijaksana kalau kemiripan yang disebutkan, itu dipaparkan lebih lanjut? Dalam arti di gambarkan, dalam segi apakah sisi kemiripan itu? Lalu apakah hanya Syaikhina yang mempunyai tipe pemikiran itu? Apakah tidak ada Ulama atau pemikir Islam lainnya yang menggunakan metode tersebut? Ya, setidaknya kalau tidak di anggap membantu perkembangan syari'ah Islam, maka tidak menjatuhkan lah, bukannya langsung divonis bahwa : Pemikiran tentang rukun islam satu memiliki kemiripan dengan kalangan murji'ah. Bahkan menyebutnya : " kemiripan karakteristik ". Ada apa sebenarnya di balik ini semua? Berbicara fakta atau memojokkan beliau atau bahkan penghinaan pada beliau?
Sebab siapa yang tidak tahu kalangan (murji'ah) yang di anggap Dholalah (sesat) oleh Ahlussunnah Wal Jama'ah ini? Sebagai mana prediksi Nabi dulu itu,40
Kalau hanya membicarakan tipe pemikiran murji'ah dengan menyebutnya : " Di lihat dalam konteks keutuhan status keislaman seseorang yang melakukan perbuatan dosa besar ", itu malah mengundang beberapa tuntutan untuk menyamakan beberapa tipe pemikiran para cendekiawan islam dengan kalangan ini, bahkan kalau kita mau menilik Usulu Syari'atin Lil Islam (beberapa hal dasar untuk menggali Syari'at dalam Islam), maka kita akan menemukan istilah Al-Masholih Al-Mursalah41 (maslahat-maslahat yang tidak di singgung oleh nas-nas dalam Islam), Sekalipun maslahat ini belum ada konsensus di antara ulama, yakni masih ada kontradiksi di kalangan mereka tentang apakah maslahat ini dapat di gunakan sebagai hujjah dalam islam ataukah tidak? Di mana maslahat ini di anggap mampu menelorkan syariat dalam Islam, sebagai mana pendapat yang di tarjihkan (di kuatkan) oleh Dr. Wahbah Zuhaili dalam karyanya Al-Wajiz42 dan Syaih 'Abdul Wahhab Khallaf. Namun yang jelas, menurut kami,43 dengan mengacu kata-kata Dr. 'Abdul Djamil : "Di lihat dalam konteks keutuhan status keislaman seseorang yang melakukan perbuatan dosa besar", yang menuntut letak persamaan tipe pemikiran Syaikhina dengan Murji'ah itu di dalam pemakaian konteks sebagai acuan untuk menghasilkan pemikiran itu, maka seakan-akan metode pemikiran maslahat tadi, itu juga di anggap pemikiran dengan konteks oleh beliau, karena bukankah maslahat tadi, itu juga melihat Al-Biah (lingkungan) dan situasi tertentu, sebagaimana metode pemikiran konteks syaikhina? Lantas apakah beliau berani memvonis bahwa maslahat ini memiliki kemiripan karakteristik dengan kalangan murji'ah?
Bahkan kalau beruntut pada statemen yang ia sebutkan, yaitu : " Dalam pandangan Rifa'iyah sering di kemukakan argumentasi pemikiran tentang rukun islam satu dengan menggunakan metode falsifikasi ", ini lebih membingungkan kami, sebab mengapa tidak beliau jelaskan secara terperinci mengenai tipe metode falsifikasi ini? Apakah yang beliau maksudkan itu pemalsuan suara44 (pembalikan wacana), seperti gambaran yang ia sebutkan, yaitu : Pembicara dalam pengajian tersebut sering mengatakan : " Bagi mereka yang mempunyai pandangan rukun islam lima, jikalau kata rukun diterapkan sebagai mana mestinya, maka banyak umat islam harus kehilangan status keislamannya karena kata rukun merupakan unsur yang tidak boleh ditinggalkan ", itu? Atau ada pandangan lain? Mestinya itu, beliau simpulkan dulu, tidak langsung di vonis seperti ini. Sebab kalau benar metode falsifikasi itu seperti kemungkinan yang pertama, (pembalikan wacana untuk menjatuhkan lawan bicara), maka hal ini sangat mengganjalkan, karena bukankah metode seperti ini juga di pakai oleh para pakar pemikir islam? Sebagai contoh kecil, kami ketengahkan pemikiran golongan ahli mantiq, sekalipun pemikiran ini masih di perdebatkan oleh Ulama Sunni, tapi yang jelas Imam Gazali, sebagaimana yang di kutip oleh Syaih 'Abdurrahman Al-Ahdlari,45 itu memperbolehkannya.
Di situ ada istilah yang mereka sebut dengan Al-Qiyas Al-Syarti (Analogi dengan metode ada 'adat syaratnya), di mana tipe pemikiran ini juga mirip dengan apa yang di paparkan oleh pembicara dalam pengajian yang di sebut Dr, Djamil itu. Bahkan mereka mencontohkan analogi ini dengan ayat yang ada dalam Al-Qur'an Al-Karim, sebagaimana berikut ini : 46
لو كان فيهما آلهة الا الله لفسدتا
فسبحن الله رب العرش عما يصفون
" Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan." 47
Bukankah kedua pemikiran ini ada kemiripan? Kalau pembicara tadi, menyatakan : " Bagi mereka yang mempunyai pandangan rukun islam lima, jikalau kata rukun diterapkan sebagai mana mestinya, maka banyak umat islam harus kehilangan status keislamannya karena kata rukun merupakan unsur yang tidak boleh ditinggalkan ", bukankah ia juga mengakui kalau lawan pendapatnya (misal : NU), tidak menerapkan sebagaimana mestinya, yang berkonsekuensi kebanyakan umat tidak harus kehilangan status keislamannya? 48 Begitu juga ayat tadi, bukankah bumi dan langit itu juga di akui dalam ayat tadi tidak rusak binasa, yang berkonsekuensi Ta'addud al-Ilah (Tuhan lebih dari satu) itu juga tidak terjadi? Lantas apakah Dr. Djamil juga akan memfonis bahwa pemikiran seperti ini juga menggunakan metode falsifikasi? Yang kemudian di hubungkan pada kemiripan karakteristik dengan kalangan murji'ah?Subhanallah.
Sekali lagi, kami tidak ada niat untuk mendeskritkan beliau, tapi kami hanya ingin mencari kebenaran, itu saja.
'A f w a n 'a l a m a q u l n a l a k u m
A l l a h y u j z i i l a k u m k h a i r a
5. Pemaparan Tentang Pemojokan Syaikhina, hlm : 180,185.
Kutipan :
Dalam catatan Biro A, tanggal 19 Mei 1859, dinyatakan bahwa KH. Ahmad Rifa'i sejak dulu terkenal sebagai sosok yang bersikap kurang menyenangkan dan berpotensi mengganggu ketenteraman dan ketertiban (rust en orde). Hlm : 180.
Pemerintah yang berpihak pada pemerintah kolonial sering menempatkan Ahmad Rifa'i sebagai ulama yang merasa benar sendiri dan selalu menimbulkan kekacauan. Berbagai laporan memperlihatkan adanya sejumlah pejabat pribumi dan tokoh agama yang berusaha mendiskreditkannya. Laporan itulah yang menjadikan pemerintah melalui Gubernur Jenderal Pahud memutuskan untuk membuangnya ke Ambon pada tahun 1859. 49 Hlm : 185.
Selain laporan pejabat, Serat Cabolek yang di salin oleh Raden Panji Jayasubrata juga memaparkan secara panjang lebar mengenai tabiat Rifa'i dan nasib yang di alami sebagai akibat dari perbuatannya itu. Secara garis besar, Serat Cabolek ini berisi kisah kebijaksanaan para penguasa yang berkolaborasi dengan tokoh agama dalam menghadapi seorang ulama ekstrim, KH. Ahad Rifa'i. Dalam perspektif kekuasaan, suasana tenteram ini agaknya terganggu oleh seorang ulama dari Kalisalak bernama Ahmad Rifa'i yang merendahkan para ulama dan penghulu pemerintah Hindia Belanda.
Hlm : 186.
Selain itu, ada juga yang menyerahkan beberapa kitab Tarajumah (tulisan KH. Ahmad Rifa'i) yang oleh pemerintah di anggap menghasut rakyat. Hlm : 187.
Meskipun demikian, tidak selamanya komunitas lain mengalami konflik dengan komunitas Kalisalak. Ada tendensi yang menganggap Kiai Rifa'i sebagai pemimpin yang amat menentukan sejarah umat Islam Jawa di masa depan atau paling tidak memberikan apresiasi terhadap pemikiran dan gerakan agamanya Ahmad Ngisa, seorang yang dianggap pemimpin gerakan mesianis pada tahun 1871 meramalkan akan datangnya Pangeran Erutjakra disertai dengan bala tentaranyauntuk mengusir penguasa asing. Setelah mereka terusir, akan muncul tiga penguasa yaitu penguasa dari Majapahit, penguasa Pajajaran, dan penguasa Kalisalak (Pekalongan). 50 Hlm : 218.
Pertanyaan kami :
Kalau mau lebih baik dalam metode penelitian ilmiah, bukankah lebih sesuai kalau pemaparan dua kubu yang ber seberangan (kubu yang pro dengan Syaikhina dan kubu yang kontra dengan Syaikhina) itu, di jelaskan lebih lanjut dengan penghidangan yang lebih sempurna? Dalam arti, tidak hanya memperbanyak pernyataan-pernyataan yang di keluarkan oleh oknum yang tidak setuju dan kontradiktif dengan Syaikhina seperti ini, tapi juga mau memperbanyak pendapat-pendapat yang sejalan dan sealur dengan syaikhina, bahkan mestinya Dr. Djamil pun juga harus berani mentarjih (menganggap kuat dari beberapa pendapat yang di paparkan oleh beliau itu), bukan hanya bercerita dan mengulas kejadian lama yang sudah hampir reda masalahnya ini? Sebab ini bukan menuntaskan masalah yang sedang mengalami kompleksitas, tapi ini hanyalah menambah lamanya perbincangan dan pembahasan yang tidak akan berakhir dengan begini.
Oleh karena itu, sebagian pemikir islam mencoba mengetengahkan metode penelitian ilmiah dengan mengklasifikasikannya pada dua bagian :
- Metode Aslam al-Masalik wa ahwatuha
Metode Aslam al-Masalik wa ahwatuha (metode terbaik dan tertepat) ini metode pikir yang digunakan oleh orang-orang yang di anggap mempunyai kapasitas menelorkan hukum dari sumbernya secara otentik dan akurat. Bahkan metode ini dianggap sebagi jalan terbaik, karena tidak mengedepankan Ar-Ra'yu wal Ijtihad Bi nafsihi (pendapat dan usaha sendiri), tapi masih menghormati pemikiran-pemikiran generasi sebelumnya, yaitu dengan mengutip pendapat-pendapat mereka mengenai permasalahan tertentu dengan menyebutkan segenap statemen yang menyinggung hal tersebut, kemudian menarjih (menguatkan) salah satu pendapat-pendapat yang kontras mengenai hal itu apabila mungkin untuk melakukannya.
- Metode Khothiratun Jiddan. 51
Metode Khothiratun Jiddan (Yang sangat mengkhawatirkan) ini adalah yang dipakai oleh para pemikir kontemporer yang mengandalkan pemikiran dan akal mereka, tanpa mau menyinggung serta menggunakan metode pertama dengan memaparkan serta menarjihkan pendapat yang kontras di kalangan mereka tersebut. Metode di atas di anggap sangat membahayakan, karena Abna al-Mu'ashirin (Pemuda sekarang) itu di anggap belum mempunyai kredibilitas dan kapasitas untuk memperoleh gelar Al-Mujtahid al-Mustaqil (penggali hukum dengan pendapat sendiri).52
Lalu, metode manakah yang di pakai oleh Dr. Abdul Djamil ini? Entahlah, tapi yang jelas dari pemaparan dan pengutipan-pengutipan kejadian masa lalu yang ia lakukan, sulitlah kiranya untuk di anggap isti'mal al-tariqah al-ula (menggunakan metode pertama). Sebab beliau tidak mau menjelaskan lebih lanjut mengenai fakta tersebut, dengan menganggap kuat salah satu statemen di atas, dan menanggapi semua opini yang beseberangan dengan apa yang ia anggap kuat itu. Bahkan metode seperti ini sangat tidak di senangi dalam islam, Nabi juga mendapat peringatan dari Allah :
وقد نزل عليكم في الكتاب ان اذا سمعتم ءايت الله يكفر بها
ويستهزأ بها فلا تقعدوا معهم حتى يخوضوا في حديث غيره انكم اذا مثلهم ان الله جامع المنافقين والكافرين في جهنم جميعا
"Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam". (Al-Qur'an surat An-Nisa' ayat : 140).
Bukankah kata-kata : " karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka ", itu menuntut bahwa, orang yang mendengarkan perkataan keji (mis : mendiskreditkan ulama) tapi malah tidak mau menjauhi (bahkan malah mengutip perkataan-perkataan itu) juga di anggap sama dengan perbuatan mereka? Pola berpikirnya seperti ini : Konsekuensi dari metode yang di pakai Dr. Djamil (Hanya mengutip perkataan-perkataan yang mencaci maki Syaikhina tanpa memberikan keterangan dan sanggahan) adalah timbulnya pemikiran oknum-oknum, dengan mengacu keterangan yang ia dapatkan dari pemaparan beliau, serta kurang mengetahui sejarah literatur timbulnya pemikiran Syaikhina, mengecam dan mendiskreditkan Syaikhina, dengan mencoba memaparkan pendapat bahwa KH. Ahmad Rifa'i tidak menjalankan Ad-Da'wah al-Tammah (metode da'wah sempurna) yang telah di isyaratkan oleh Nabi SAW melalui sabdanya : " Aku di utus dengan membawa ajaran yang benar lagi lunak ". 53
Padahal (menurut kami), mestinya ini hanya kesalahan pandangan saja bukan? Sebab, acuan Syaikhina dalam menyikapi dakwahnya di tanah Jawa ini berdasarkan pada hadis-hadis Nabi yang mengungkap tentang kewajiban amar makruf dan nahi mungkar, sebagaimana pengakuan beliau yang di kutip oleh Dr. Djamil sendiri.54 Bukankah Allah juga mewajibkan pada kita agar berlaku keras pada orang-orang yang berbuat maksiat? Bahkan pada orang-orang kafir, sebagaimana firmannya :
محمد رسول الله والذين معه أشداء على الكفار
رحماء بينهم تراهم ركعا سجدا يبتغون فضلا من الله ورضوانا
" Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar ". (QS:Al-Fath ayat :29) .
penutup
Intinya kami masih janggal dan minta pernyataan lebih lanjut, mengenai metode yang beliau gunakan. Sebab menurut kami, konflik tidak akan pernah selesai, bila metode seperti ini terus di kembangkan dan di gunakan sebagai penelitian ilmiah. Bahkan yang kami inginkan cobalah kita lebih dewasa dengan menggunakan metode diskusi ilmiah masing-masing, yaitu dengan mencoba mencari titik persamaan antara kedua belah kubu (Rifa'iyyah dan NU) sehingga terciptalah kerukunan dan ketenteraman bersama, tanpa harus menyakiti satu sama lain, atau setidaknya saling menyadari kalau sebenarnya ini semua adalah khilaf (perbedaan pendapat) dalam lingkup Dhonni ad-Dilalah, yang memang telah mendapatkan legalitas dari Rasulullah SAW. Bahkan telah di rumuskan oleh ulama bahwa khilaf itu membawa rahmat sebagaimana maqolah mereka :
والخلاف بين الأئمة الاعلام رحمة لهذه الامة .
S y u k r o n 'a l a m a a j a b t u m l a n a
W a l i l l a h A l - h a m d u h a t t a y a r d h o
W a a h i ru d a'w a h um a n i l h a m du l il lah i R a b b il 'Alamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar